SEJARAH ASAL USUL DESA/KELURAHAN KEDUNGSANA

SEJARAH ASAL USUL DESA/KELURAHAN KEDUNGSANA KABUPATEN CIREBON . Dahulu kala disebuah kampung  ada sepasang suami istri yang hidup bahagia aman dan damai, sepasang suami istri tersebut sangat rajin dan tekun bekerja, yang laki-laki bernama Ki Kedung dan istrinya Nyi Sana.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya Ki Kedung dan Nyi Sana bercocok tanam. Disamping menanam padi juga menanam palawija seperti timun dan terong. Akhirnya sampai sekarang banyak orang-orang Kedungsana yang menanam palawija seperti: timun, terong dan kacang panjang serta yang lainnya.
Maka jelaslah bahwa penduduk Desa Kedungsana sebagian besar penghidupannya sebagai petani dan buruh tani.

Sekitar tahun 1450 M, Ki Kedung dan Nyi Sana mulai kenal dengan Ki Kuwu Cirebon. Pada waktu itu Ki Kuwu Cirebon dengan perahunya singgah di tempat kediaman Ki Kedung dan Nyi Sana sambil menyebarkan agama Islam, hubungan mereka semakin erat sehingga Ki Kedung dan Nyi Sana sering berkunjung ke rumah Ki Kuwu Cirebon. Seandainya Ki Kedung dan Nyi Sana lama tidak berkunjung kesana, maka Ki Kuwu mengajak istrinya berkunjung ke tempat Ki Kedung dan Nyi Sana dengan menyebut “Kedungsana”, sejak itulah tempat tinggal Ki Kedung dan Nyi Sana dinamai Kedungsana, yang kemudian menjadi Desa Kedungsana berada di wilayah Kecamatan Plumbon.

Ki Kedung mendapat tugas untuk menjaga hutan yang ada di Kedungsana yang akhirnya tempat itu dinamai :Jaga Wana”. Ketika itu keraton Cirebon sedang mengadakan Pancen untuk menjaga “Gedong Jinem”, karena Ki Kedung sudah tua maka tugas itu dibebankan kepada anaknya yang bernama Ki Jenggot.

Disamping sebagai petani Ki Kedung juga memelihara kerbau yang biasa digunakan untuk membajak sawah. Suatu hari pada waktu sedang memandikan kerbaunya di musim penghujan, kebetulan sungainya banjir, Ki Kedung memperoleh sepotong bamboo yang hanyut di sungai tersebut. Bambu itu dibawa pulang dan dibakar dengan rumput pada tempat perapian, anehnya bamboo itu dapat berpindah tempat. Setelah beberapa hari tetap dapat berpindah tempat, akhirnya bamboo dibelah dan di dalamnya terdapat sebilah keris.
Ki Jenggot mewakili Ki Kedung untuk berangkat ke Keraton Cirebon untuk melaksanakan pancen. Kebanyakan para petugas pancen hanya tinggal namanya saja. Kalau malam piket esok harinya meninggal dunia.

Setelah sampai di Keraton Cirebon, Ki Jenggot disuruh menjaga benda-benda pusaka di Gedong Linem, diantaranya Keris Nagarunting. Pada tengah malam daalam kamar keluar seekor ular besar, kemudian Keris Kober keluar sendiri dari sarungnyaa langsung menghadapi ular tersebut. Ular tersebut berubah menjadi keris kembali. Akhirnya keris dengan keris bertanding dan Keris Nagarunting ujungnya patah, kemudian Ki Jenggot diserang oleh makhluk gaib sebangsa jin. Ki Jenggot menghadapinya dengan tenang saqtu persatu. Jin dapat dikalahkan. Bahkan ada satu jin yang namanya Ki Muntili mau dibanting namun jin itu memintaa ampun dan mau dijadikan pembantu dan menurut sesuai dengan apa perintah Ki Jenggot.

Keesokan harinya Ki Jenggot pulang di gedong, dalam perjalanan tanah yang terinjak ada yang bersuara bung. Karena itu tanahnya digali daan di daalamnyaa terdapat gamelan (balabandung) dan tiap hari raya gamelan itu dimandikan (dicuci) dan ditabuh.

Tetapi sekarang gamelan itu tidak ditabuh, tetapi setiap hari raya dimadikan saja. Gamelan itu selalu berada di rumah Kuwu yang masih bertugas. Gamelan tersebutmasih ada walaupun sejak abad 15, dan tiap tanggal 12 Maulid, hari raya Idul Fitri dan hari raya idul Adha selalu dimandikan dengan air kembang.

Di rumah Ki Jenggot, Ki Muntili ditempatkan pada kandang kerbau dan mendapat tugas untuk memandikan kerbau-kerbau itu. Sayangnya Ki Muntili suka mengganggu orang-orang yang sedang mandi dan sering memindahkan air ke tempat lain.

Akhirnya Ki Muntili mendapatkan tugas baru yaitu membajak sawah, makanya di Kedungsana dulu tersiar kabar ada bajak yang berjalan sendiri.
Ki Muntili mau membajak sawah kalau ada hujan, karena banyak guntur dan kilat supaya lekas dijemput. Tetapi sewaktu membajak di Tiroke Ki Muntili kehujanan dan Ki Jenggot lupa menjemputnya. Ki Muntili tersambar petir taapi hanya kerbaunya saja yang mati dan dikubur disitu, kemudian Ki Muntili pulang dan tempat tinggalnya pindah pada gamelan.

Pengganti Ki Jenggot ialah Ki Eter, waktu balai desa masih di timur sungai (blok Jamar Jati). Pada waktu itu Kedungsana mendapatkan cobaan, ada seorang pengemis minta beras sekocel (sekitar 2,5 kg) dan seekor ayam putih kepada Ki  Eter. Permintaan pengemis tidak dikabulkan, selang beberapa hari timbul angin kencang. Angin kencang tersebut mengakibatka serambi masjid yang ada dibagian depan terpelanting ke Limbangan.

Daftar Nama-nama Kuwu Kedungsana yang diketahui diantaranya :

1.    Kuwu Jenggot
2.    Kuwu Eter
3.    Kuwu sarkani/Kuwu Haji
4.    Kuwu Kalmin/Buyut Kalmin
5.    Kuwu Rentayim/Buyut Rentayim
6.    Kuwu Kalinten/Buyut Kalinten
7.    Kuwu Remas    : 1925 – 1955
8.    Kuwu Suminta    : 1955 – 1968
9.    Kuwu Asmar    : 1968 – 1982
10.    Kuwu Oetarja (Pj)    : 1982 – 1984
11.    Kuwu Mu’min R    : 1984 – 1992
12.    Kuwu Abdul Majid (Pj)    : 1992 – 1994
13.    Kuwu B.M. Makhali    : 1994 – 1999
14.    Kuwu Rustija (Pj)    : 1999 – 2001
15.    Kuwu M Surjaya    : 2001 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA/KELURAHAN KEDAWUNG

SEJARAH ASAL USUL DESA/KELURAHAN KEBAREBAN KABUPATEN CIREBON .Diperkirakan pada abad  XV awal berdirinya Kerajaan Cerbon, perkembangan Agama Islam yang di berikan oleh Sunan Gunung Jati begitu berat sehingga tak heran apabila dari berbagai penjuru berdatangan ingin belajar Agama Rosul.

Disitu para santri di didik menimba ilmu, baik lahir maupun batin, setelah dianggap cukup menguasai ilmunya maka para santri di beri beban dan tanggung jawabnya untuk menjadi seorang guru di daerah atau padukuhannya masing-masing.

Pada sebuah padukuhan yang di pimpin oleh Ki Dung Martapura dan Ki Demang Rengas Papas masyarakatnya menjadi subur makmur. Karena merasa dirinya sangat berjasa maka timbullah hati yang busuk dan dalam mengemban tugas, ia mengatur dengan seenaknya saja tanpa memperhatikan kepentingan umum, dan perasaan orang banyak.

Pada suatu saat, Ki Demang Martapura dan Ki Demang Rengas Papas menghadap kepada Sunan Gunung Jati, maksud dan tujuannya agar mereka diberikan suatu jabatan yang lebih tinggi dalam pemerintahan, tapi saying harapan tersebut kandas, karena Sunan Gunung Jati memberikan jabatan hanya untuk mengurus kuda. Keduanya dengan sangat terpaksa karena tugas tersebut sangat bertolak belakang dengan keinginannya.

Sesungguhnya Sunan Gunung Jati ingin mengujinya sampai dimana kejujuran dan tanggung jawab tersebut. Dalam hati kecil Ki Demang sangat keduhung /sangat menyesal kalau begini maka tak usah meminta jabatan yang lebih tinggi lagi.

“Hai Ki Martapura, awak ira aja grubug jare manira sanggup nglakoni apa kang den parentah. Wak ingsun angaweruhi ta sira minangka pingpinan pedukuhan. Ingsun ugah weru yen ta sira iku kang babad alas. Ananging kanggo dadi pinpinan, ora cukup tudang-tuding kewala, tangga-tonggo, yen mengkonon cara nira dari pemingpin, sira tan bakal tinemu derajat kang genja, during ngrasakan wis ilang sarie lan sira mengko keduhung ning buri manira kinon angurus jaran, kang den pamrih sira bias rumangsakaken jembangane ati wong cilik, wis saiki aja keduhung” Ujare Sunan Jati.

Terjemahannya:  “Hai Ki Martapura engkau jangan berdusta. Katanya kau sanggup melaksanakan apa yang telah kuperintahkan. Aku mengetahui kamulah pemimpin pedukuhan,akupun tahun jika engkau yang membuka hutan ini. Akan tetapi untuk menjadi pemimpintidaak cukup hanya tudang-tuding saja, menunggu-nunggu. Andai caramu memimpin demikian, mustahil engkau berhasil, tidak akan merasakan hasilnyaa juga akan menyesal dikemudian hari, oleh sebab itu kuberi trugas memelihara kuda, agar kamu dapat merasakan bagaimana hati sanubari orang kecil, rakyat kebanyakan. Nah sekarang kamu tidak usah menyesal”. Ucap Sunan Jati.

Pesan itu sangat berbekas di hati Ki Demang Martapura dan Ki Demang Rengas Papas. Mereka berjanji tidak akan mengulangi kesalahan seperti waktu lalu maka jeng Sunan memerintahkan untuk kembali ke pedukuhannya. Keduanya kembali menata pedukuhannya dengan baik sesuai pesan yang ia tuturkan Sunan Jati. Setibanya di pedukuhan, mereka memberi nama pedukuhannyaa Kedawung dari kata keduhung (menyesal).

Ada juga nama pilang sari (hilang sarinya), blok yang ia beri nama si grubug dari kata grubug (bohong), tonggoh dari kata tangga-tonggo, genja (keberhasilan) paltuding dari kata tudang-tuding (main tunjuk), jimbangan dari kata jembangan ati (hati sanubari). Cara yang arif untuk mengingat pesan yang dapat merubah kelakuan yang buruk. Pesan inipun kiranya ingin selalu beliau wariskan kepada generasi ke generasi.

Ki Demang Renggas Papas atau Ki Gede Kedawung meninggal di Jungjang. Desa Kedawung secara administrative menjadi dua desa yaitu Desa Pilang Sari baru pada tahun 1984. Desa Kedawung memiliki jumlah penduduk 5.253 jiwa dengan luas wilayah 46.965 Ha.

Daftar Nama-nama Kuwu Desa Kedawung yang diketahui adalah :

1.    Kadina sebelum tahun     : 1940
2.    Atak    : 1940 – 1942
3.    Sidin     : 1942 – 1950
4.    Baro    : 1950 – 1967
5.    Caris     : 1967 – 1984
6.    Caris (PJS)    : 1984 – 1985
7.    Abdul Hamid     : 1985 – 1994
8.    Abas M (PJS)    : 1994 – 1995
9.    Samsi Y    : 1995 – 2004
10.    Deviadi (PJS)    : Februari 2004 – Juli 2005
11.    D. Kadina     : 2005 – sekarang


Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA/KELURAHAN KEBONTURI KABUPATEN CIREBON

SEJARAH ASAL USUL DESA/KELURAHAN KEBONTURI KABUPATEN CIREBON . Desa Kebonturi berada di Kecamatan Arjawinangun, luas wilayah 152.793 Ha jumlah penduduk sebanyak 4.076 orang terdiridari laki-laki 2.024 orang dan perempuan 2.052 orang. Mata pencaharian penduduk adalah petani, pedagang, pegawai dan wiraswasta.

Desa Kebonturi adalah hasil pemekaran Desa Geyongan. Pada waktu dahulu daerah ini merupakan pedukuhan bernama pedukuhan Warakas, yang dikepalai seorang bekel bernama Ki Gede Wirakas. Karena keadaan kurang aman, kemudian pusat kegiatan pedukuhan dipindahkan ke blok Jatilawang yang dipimpin Jatilawang dan di sebelah utara pedukuhan dikepalai Ki Nurijan. Pengikut Ki Gede Jatilawang adalah Nyi Nitosari, Ki Sihir, Ki Sena, Ki Randu dan yang lainnya.

Ki Jatilawang terkenal kesaktiannya bisa menaklukan bangsa siluman termasuk pula menaklukan jin. Setiap perintah Ki Gede Jatilawang selalu ditaati. Oleh masyarakatnya  bila Ki Gede Jatilawang bepergian selalu didampingi oleh pengikutnya. Pada akhir hayatnya Ki Gede Jatilawang dimakamkan di pedukuhan tersebut dan setiap tahunnya diadakan adat desa unjungan atau ngunjung oleh masyarakat setempat. Begitu pula Ki Narijah yang kehidupannya mempunyai kesaktian, disamping itu Ki Narijan menekuni dibidang pertanian dan peternakan. Hari demi hari Ki Narijan menekuninya, hutan belantara disulap menjadi lahan yang dapat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Begitu banyak Masyarakat yang memerlukan lahan, ada yang untuk perumahan adapula yang untuk pertanian, begitu pula perkebunan. Karena jasanya, maka Ki Narijan oleh masyarakat di pedukuhan itu disebutnya Ki Gede.

Dahulu di pedukuhan itulah oleh Belanda dibuat pabrik gula yang pertama wilayah barat Cirebon. Kebanyakan para pekerja pabrik dari berbagai penjuru wilayah, yang kebanyakan indekos (mondok), oleh karena itu maka blok tersebut dinamakan blok pondok. Orang-orang Belanda pekerja pabrik gula yang disebutnya Tuan-Tuan, senang memelihara menjangan, kambing dan ternak lainnya. Karena pada waktu itu tuan-tuan memegang kekuasaan, jadi ada abeberapa tanah pinggir jalan ditanami pohon turi, dengan tujuan daunnya sebagai makanan utama menjangan begitu juga ternak yang lain. Oleh Karena itu daerah itu dikenal dengan sebutan Blok Kebonturi.

Dengan perubahan jaman pabrik yang semula di Blok Pondok di bongkar dipindah ketempat lain yaitu di Gempol Palimanan. Pada tahun 1982 Blok Kebon Turi pemekaran dari Desa Geyongan dijadikan Desa Kebonturi. Sekarang yang dulunya lahan perkebunan dan pertanian banyak dijadikan perumahan masyarakat, di Desa Kebonturi akan dibangunpasa swalayan yang letaknya sebelah utara Polwil Cirebon, begitu pula Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon akan membangun Rumah Sakit Arjawinangun (Jalan Jenun – Beringin). Produk masyarakat Desa Kebonturi yang terkenal yaitu membuat klobot dan klobotnya terkenal dimana-mana.

Daftar Nama-nama Kepala Desa Kebonturi yang diketahui diantaranya :

1.    M. Riban    : 1982 – 1986
2.    Ruseno (Pj)    : 1986 – 1989
3.    Robandi    : 1989 – 1997
4.    Agus (Pj)    : 1997 – 1999
5.    Apud (Pj)    : 1999 – 2000
6.    Oman (Pj)    : 2000 – 2001
7.    Wardjono Aprianto    : 2001 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA/KELURAHAN KEBAREPAN

SEJARAH ASAL USUL DESA/KELURAHAN KEBAREPAN KABUPATEN CIREBON . Pada abad ke 14 yang sekarang nama Desa Kebarepan adalah salah satu bagian dari wilayah Blok yang bernama Sikalong yang merupakan daeraah yang sangat subur diantara blok-blok lain. Sealin dialiri oleh sebuah sungai Pulosari yang dapat mengairi beberapa perkebunan, pertanian serta perikanan dan juga letaknya strategis, tanahnya datar dibawah jalan raya Deandles yang memotong wilayah ini, airnya masih tetap mengalir walaupun musim kemarau.

Karena suburnya blok ini tentunya bukan sembarangan orang yang memimpin kampung ini. Pada saat itu pimpinan kampung yang sangat ditakuti daan disegani ialah seorang bernama Ki Banas Patih yang terkenal selain gagah berani dia juga sangat sakti mandraguna dan berasal dari tanah Galuh Pasundan serta memiliki pasukan yang sangat kuat khususnya pasukan dedemit daan peri.

Waktu itu agama yang dianut oleh Ki Banas Patih ialah agama Hindu, sehingga pada masa itu perkembangan agama Islam di wilayah Cirebon khususnya agak terlambat karena Ki Banas Patih beserta pasukannya tidak mau tunduk masuk agama Islam.

Di suatu saat Sunan Gunung Jati/Ratu para Auliya/Wali dari Cirebon mencoba memecahkan masalah ini agar perkembangan agama Islam di tanah Jawa khususnya di wilayah Cirebon dapat cepat berkembang dengan lancar. Musyawarah diadakan dan keputusanpun diambil dengan menyebarluaskansebuah maklumat yang isinya sebuah sayembara bagi umum. “Barang siapa yang dapat menaklukan Ki Banas Patih , akan diberi hadiah yaitu diangkat menjadi Ki Gede atau penguasa di kampung ini”.

Alkisah di sebuah wilayah lain nun disebelah barat ada sebuah blokyang bernama Bagusan, Pemimpin blok tersebut adalah seorang yang beragama Ialam dan bernama Ki Gede Bagusan. Beliau memiliki beberapa putra dan putri. Salah satu diantaranya bernama Ki Agus Mungkad.

Ki Gede Bagusan mendengar sayembara yang menarik tersebut, selain sayembara tersebut untuk pengembangan agama Islam juga sangat tertarik untuk mencoba ilmu yang diturunkan kepada anaknya Ki Agus Mungkad. Maka dengan tekad yang mulia Ki Gede Bagusan mengutus anaknya Ki Agus Mungkad bersama pengawalnya untuk mengikuti sayembara di blok Sikalong tersebut.
Pada suatu saat yang telah ditentukan yaitu pada malam Jum’at Kliwon, masyarakat sudah mulai berjejal untuk menyaksikan bagaimana sayembara yang akan menentukan suatu pimpinan yang bakal mengganti Ki Banas Patih dilaksanakan. Sayembara ini menurut pengamatan sesepuh sudah cukup dianggap adil, sebab yang bertanding hanya selain pimpinannya saja, juga yang kalah harus tunduk dan menurut sesuai aturan yang telah ditentukan.

Dengan hadirnya rombongan Sunan Gunung Jati/Ratu para Auliya walidari Cirebon, lengkaplah sudah. Acara siap untuk dimulai, ribuan orang sudah berkumpul dan melingkar disuatu tempat terbuka yang disediakan untuk sayembara adu kesaktian tersebut.

Sebelum sayembara dimulai, Ratu para Auliya memberikan sambutan dan acara pertandingan yang disetujui oleh kedua belah pihak yang disaksikan oleh ribuan orang dengan berdebar-debar. Acara yang dinanti-nantikan tiba, pertandingan dimulai. Ki Agus Mungkad kelihatan tenang sekali, lain dengan Ki Banas Patih yang kelihatannya garang dan ganas. Pukulan demi pukulan telah dilancarkan, kesaktianpun dikeluarkan. Banyak penonton merasa ngeri, suasana goncang, angin berdatangan, suara bersuitan, suatu tanda adu kesaktian saling bertemu silih berganti.

Para Ratu Auliya menafsirkan bahwa malam Jum’at Kliwon yang diminta Ki Banas Patih adalah malam yang menguntungkan baik dari segi perhitungannya maupun penggunaan ilmu kesaktian bagi Ki Agus Mungkad.

Kedua belah pihak saling menguras tenaga, keringat sudah mulai bercucuran, kesaktianpun sudah banyak dikeluarkan tetapi tidak ada yangkalah dan tidak ada yang menang. Disana-sini para penonton sudah Mulai banyak yang cemas akan keberhasilan pemuda tersebut, sebab kelihatannya Ki Banas Patih masih kelihatan segar dan tertawa melulu. Pertandingan adu ilmu kanuraga berjalan a lot, memakan waktu semalam suntuk.

Disaat yang genting, melengkinglah Ki Banas Patih dengan loncatan yang garang menerkam Ki Agus Mungkad. Dengan mengumpulkan seluruh kekuatannya Ki Agus Mungkad menahan serangan lawan tersebut. Akan tetapi tetap saja Ki Agus Mungkad terpelanting jauh dalam keadaan duduk, tetapi Ki Banas Patih hanya tergoyang sedikit sambil tertawa-tawa.

Para Auliya dan penonton sangat kaget dan khawatir akan keselamatan pemuda tersebut, tetapi lain hal kenyataannya bahkan orang-orang pada melongo keheranan. Ki Banas Patih tertawanya diam bahkan badannya sempoyongan kebelakang dan mulutnya mengeluarkan darah, akhirnya Ki Banas Patih roboh tidak berkutik lagi.

Luapan kegembiraan Penonton dan teriakan-teriakan histeris disana-sini terdengar mengelu-elukan Ki Agus Mungkad atas kemenangannya, Ki Banas Patih telah dirobohkanbersama pasukannya oleh Ratu Auliya diberi kebebasan untuk masuk Islam, berhubung Ki Banas Patih tidak mau masuk Islam, maka Ki Banas Patih bersama rombongannya untuk ke daerah Cirebon Selatan yaitu Cirebon Girang.

Dengan demikian Ki Agus Mungkad berhak untuk menjadi pimpinan di Blok Sikalong dengan julukan Ki Bagus Pengaten atau Ki Tuan Barep, karena baru kali inilah seseorang pimpinan dilaksanakan melalui pilihan sayembara dan karena desa ini adalah paling depan (pembarep) didirikan, maka Desanyapun dinamai Desa Kebarepan.

Penghidupan rakyatnya sedikit demi sedikit sudah mulai kelihatan maju, bercocok tanam dan perkebunanpun sudah mulai digarap, sehingga Blok Sikalong yang tadinya terdiri dari hutan menjelma menjadi sebuah pedesaan yang asri.

Demikianlah asal usul Desa Kebarepan. Ketika Ki Bagus Pengatenmemegang tumpuk pimpinan di Desa Kebarepan, beliau memerlukan seorang wakil untuk membantu pekerjaannya. Diangkatlah seorang muslim yang bernama Ki Abdullah yang kemudian berjuluk Ki Buyut Buluh yang kelak beristrikan Nyi Mentok.

Setelah Ki Bagus Pengaten meninggal dunia, amka pimpinan dipegang langsung oleh Ki Buyut Bulu, saat itu masyarakatnya dalam keadaan aman, tentram dan makmur sentosa.

Pada saat pimpinan Desa Kebarepan dipegang oleh Ki Buyut Bulu diadakanlah musyawarah untuk mengadakan pemilihan Kepala Desa. Waktu itu pemimpin yang terpilih ialah Ki Marsijan yang berasal dari Blok Cibiuk dengan julukan Ki Kuwu Marsijan.

Dengan adanya julukan Ki Kuwu yang tentunya sebagai penyandang jabatan yang mempunyai organisasi Pekuwon, maka organisasi Pekuwon sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan walaupun waktu itu masih sangat sederhana, khususnya mengikuti jejak pemerintahan Ki Kuwu Cirebon.

Setelah Ki Kuwu Marsijan meninggal dunia dan dimakamkan di Si Duwet, maka pemilihan Ki Kuwu segera diadakan lagi demi tertibnya keadaan. Pemilihan Ki Kuwu di Desa Kebarepan sangat unik. Pemimpin-pemimpin blok yang mencalonkan diri berjajar daan diikuti oleh siapa pendukung-pendukungnya, sehingga siapa yang pendukungnya paling banyak maka itulah yang akan memenangkannya.

Pemilihan Kuwu dimenangkan oleh Ki Saryan dengan julukan Ki Kuwu Saryan. Pengganti Ki Kuwu saryan ialah Ki Djarwi yang mempunyai julukan Ki Kuwu Djarwi seorang penduduk asli Kebarepan. Ki Kuwu Djarwi digaanti oleh Ki Kuwu Sarti Astrawiguna yang berasal dari Sindang Laut Cirebon.

Kampung disebelah utara Desa Kebarepan yang bernama Kampung Pesanggraahan, konon dahulunya tempat berkumpulnyaa para Buyut, alim ulama bahkan kadang-kadang para Wali. Kemudian menjadi Desa Pesanggrahan yang dipimpin seorang muslim bernama Ki Kuwu Nurkiyan dan dibantu oleh putranya sebagai Pamong Dea yang bernama Ki Sarna.

Karena jaman berubah, aturan berubah pula menurut putaran kondisinya. Pada tahun 1919 dalam penjajahan Belanda diatur wilayah yang lebih tertib dan merata, maka diaturlah penyatuan wilayah antara lain wilayah Desa Kebarepan yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sarti Astrawiguna, dan wilayah Desa Pesanggrahan yang dipimpin oleh Ki Kuwu Nurkiyan. Nama desa yang telah digabung itu berdasarkan musyawarah masyarakat ditetapkan bernama Desa Kebarepan. Pilihan Kuwu dimenangkan oleh Sarna dengan sebutan Ki Kuwu Sarna.

Waktu itu pemerintahan Belanda mengatur Undang-undang kewilayahan, selain untuk menertibkan batas wilayah  juga dilatar belakangi oleh kepentingannya, sehingga aturan pemerintah saat itu condong banyak kekurangannya ketimbang kelebihannya. Dari dorongan hati nurani yang bersih dari lubuk Ki Kuwu Sarna yang merupakan pilihan masyarakat, karena tidak mau segalanya diatur oleh Pemerintah Belanda yang nyata-nyata bertentangan dengan aspirasi masyarakatnya, maka Ki Kuwu Sarna segera mengundurkan diri sebagai Kuwu Kebarepan.

Pucuk dicinta ulam tiba, itu suatu pancingan yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan segeralah Pemerintah Belanda mengabulkannya dan diangkatlah seorang penggantinya yang bernama Ki Kuwu Arwa. Pada tahun 1948, Ki Kuwu Arwa meninggal dunia karena tertembak oleh sekelompok pejuang yang pada saat itu sedang genting-gentingnya pergolakan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebagai gantinya ialah seorang warga Desa Panguragan Arjawinangun yang bernama Ki Kuwu Kanapi. Beliau memegang tampuk pimpinan dengan bijak daan adil serta luwes, akan tetapi amat berwibawa.

Pada tahun 1967 diadakan pemilihan Kuwu Kebarepan yang dilaksanakan dengan terbuka secara demokrasi Pancasila. Yang terpilih menjadi Kuwu ialah penduduk asli asal Blok Karang Tengah Desa Kebarepan yang bernama Ki Kuwu WarniKhahar. Dalam pimpinan Kuwu Warni Khahar, pembangunan dan kesadaran hokum sudah tertanam di hati masyarakat dengan baik dan Desa pun menjadi maju.
Pada tahu 1974 diadakan pemilihan Kuwu Kebarepan yang pemenangnya seorang guru SD berasal deari blok Pesanggrahanbernama Ki Kuwu Mansur Danuatmadja. Berkah pada tahun 1983 Desa Kebarepan dimekarkan kembali menjadi dua yaitu :

1.    Desa Kebarepan (desa induk) dijabat oleh Kepala Desa lama yaitu Bapak Mansur Danuatmadja.
2.    Desa Pesanggrahan dijabat oleh Bapak Sumito asal Desa Kasugengan Lor (Pegawai Kecamatan Plumbon).

Pada tahun 1985 Desa Kebarepan kena peremajaan, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1985 diadakan Pemilihan Kepala Desa. Yang terpilih ialah Bapak Noerkimin yang berasal dari Desa Kebarepan iyu sendiri dan masih aktif dinas di kesatuan TNI-AL. Sedangkan Desa Pesanggrahan yang terpilih menjadi Kepala Desanya ialah seorang ibu guru SD, asli Desa Pesanggrahan yang bernama Sri Sukersih

Pada masa kepemimpinan Bapak Noerkimin, roda pemerintahan dewsa berjalan dengan lancar dan pesat dengan ditandaai adanya peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat Desa Kebarepan, juga tersedianya infrastruktur/prasarana yang memadai, keadaan tersebut berlangsung sampai masa jabatan Bapak Noerkimin berakhir. Pada tanggal 25 Januari 2004 diadakan pemilihan Kepala Desa. Yang terpilih ialah seorang pegawai Dinas Pertanian bernama Ibu Sukaerah yang berasal dari blok Kadiwangsan Desa Kebarepan merupakan warga asli. Dan ini merupakan catatan sejarah bagi masyarakat Desa Kebarepan karena wanita pertama yang menjadi Kepala Desa Kebarepan.

Pada tanggal 13 Februari 2004, merupakan tanggal pelantikannya ibu Sukaerah menjabat sebagai Kepala Desa Kebarepan dan pada masa ini pula bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan adanya perubahan Undang-Undang No. 22 tahun 2000 tentang Otonomi Daeraah yaitu berubahnya sebutan pimpinan Desa dari Kepala Desa kembali ke sebutan Kuwu.

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL ASUL DESA/KELURAHAN KARANGWANGUN

SEJARAH ASAL ASUL DESA/KELURAHAN KARANGWANGUN KABUPATEN CIREBON. Pada abad ke XV Kerajaan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sinuhun Syarif Hidayatullah yang juga seorang Sunan, dengan gigihnya mengembangkan Agama Islam, sehingga banyak yang datang berbakti ke Cirebon dan menganut Agama Islam.

Tersebutlah sebuah kerajaan di Pamekasan (Madura) yang dipimpin oleh Prabu Bratajaya yang beragama Budha sangat tersohor dan mempunyai banyak penganut. Tetapi anak buahnya satu persatu bubar dan pindah ke Cirebon menganut Agama Islam.

Melihat keadaan tersebut Prabu Bratajaya timbul amarahnya, kemudian mengirim surat agar Cirebon setor upeti ke Pamekasan. Cirebon tidak mau mengirim upeti, tidak mau disebut sebagai kerajaan bawahan Kerajaan Pamekasan. Tindakan Cirebon yang demikian artinya bersiap-siap untuk menerima serbuan Prabu Bratajaya.

Sinuhun Sultan Cirebon menemui Mbah Kuwu sebagai penasehatnya di Lemah Wungkuk untuk mengadakan musyawarah dalam menentukan tindakan selanjutnya untuk mengatasi serbuan Prabu Bratajaya.

Hasil musyawarah  dan atas nasehat Mbah Kuwu, maka Sinuhun agar menugaskan kepada Ki Gede Penganjang yang bernama Elang Kalam. Sinuhun datang ke Penganjang dan membicarakan kedatangannya kepada Elang Kalam dan Elang Kalam menyanggupi dan berangkat ke Madura untuk adu kesaktian dengan Prabu Bratajaya. Elang Kalam berhasil mengalahkan Prabu Bratajaya dan beliau diberi hadiah daerah Gebang dan Putri dari Sultan Cerbon.

Elang Kalam pamit menuju Gebang. Dari Cirebon menuju Kanci terus ke selatan lewat Sindang Laut, Karangsembung, Karangwareng terus ke timur sampai Jati Piring. Karena merasa lelah, Elang Kalam istirahat, sambil istirahat ia menanam biji asem dan jadilah asem paying terus berangkat lagi naik kuda hingga sampai Cibogo terus ke selatan, pada saat itu turun hujan hingga jalan menjadi belet leled. Daerah ini akhirnya dinamai Desa Waled.

Dari Waled menuju ke arah timur dan selanjutnya kea rah utara, pada saat itulah Elang Kalam menjumpai petani dan beliau memberi pengarahan. Bersama istrinya Putri Sultan Cerbon beristirahat, tempat dimana Elang Kalam beristirahat diberi nama Desa Paguaran (sekarang Pabuaran). Kemudian Elang Kalam meneruskan perjalanan menuju Gebang dan membuat keraton dan menjadi Raja dengan gelar Sutajaya Sutambres atau Sutajaya Wiranpas.

Keberadaan Keraton Gebang terdengar sampai ke wilayah Mataram. Seorang murid Sultan Cerbon bernama Sutajaya Kentol yang berada di Mataram merasa khawatir dengan berdirinya Keraton Gebang adalah merupakan saingan Keraton Cerbon. Dengan berbekal rasa kekhawatiran inilah, maka Sutajaya Kentol berangkat menuju Cerbon untuk minta restu Sultan agar Keraton Gebang dimusnahkan.

Kehendak Sutajaya Kentol mendapat restu Sultan Cerbon. Kemudian Sutajaya Kentol menuju Gebang untuk menggempur Keraton Gebang. Akan tetapi maksud dari Sutajaya Kentol telah diketahui oleh Sutajaya Sutambres. Hanya dengan tepakan telapak tangannya ke tanah, maka musnahlah Keraton yang telah dibangunnya.

Kedatangan Sutajaya Kentol di Gebang diatas sebuah sasak (jembatan) hanya mangu-mangu saja, dirinya merasa terbengong-bengong melihat sekelilingnya. Keraton Gebang yang semula berdiri megah, kini telah musnah. Tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Sasak Karangmangu dan berkembang menjadi sebuah desa yaitu Desa Karangwangun.

Pada masa berikutnya ada Gubernur Jendral Belanda mengenai DAUPAN (Penyatuan Wilayah) bagi Desa-Desa yang berdekatan, maka wilayah Sasak Karangmangu yang berdekatan dengan Desa Kesamben (pada waktu itu Kepala Desanya bernama Sela Perwata) digabungkan menjadi satu. Warga desa menamainya Desa Karangwangun, balai desanya berada di Sasak.

Oleh karena itu tidak mengherankan apabila banyak orang menyebut Desa Karangwangun dengan julukan Desa Karangwangun.

Sela Perwata menjadi Kepala Desa Kesamben dari Tahun 1885 – 1918 dan saat Desa Karangwangun Kepala Desanya/Kuwu Tayun Margani, pada tanggal 1 September 1981, datang instruksi/Peraturan Pemekaran Desa maka lahir kembali nama Desa Kesamben yang kemudian berubah menjadi nama “Desa Pakusamben” yang pertama kali dijabat oleh S. Dawing juru tulis Desa Karangwangun (1981 – 1985).

Daftar Nama-nama Kepala Desa Karangwangun yang diketahui :

1.    Sardani    : 1918 – 1923
2.    Sura Permana    : 1923 – 1930
3.    Brahim    : 1930 – 1933
4.    Daklan    : 1933 – 1939
5.    Rasba    : 1939 – 1943
6.    Dana    : 1943 – 1948
7.    T. Raksa Yuda    : 1948 – 1951
8.    Rasjid Singawijaya    : 1951 – 1956
9.    Arkat Denan     : 1956 – 1965
10.    Casa Aiptu    : 1965 – 1976
11.    Tayun Margani    : 1976 – 1989
12.    Casba Heryanto    : 1989 – 1999
13.    Kasjani (Pjs)    : 1999 – 2001
14.    Dakim Kosasih    : 2001 – sekarang

Baca Selengkapnya »

ASAL USUL DESA/KELURAHAN KALITENGAH

ASAL USUL LENGKAP DESA/KELURAHAN KALITENGAH KABUPATEN CIREBION . Dikisaran abad XV di sebuah wilayah yang termasuk ke dalam wewengkon Ki Buyut Trusmi datanglah serombongan dari Demak untuk menyebarluaskan Islam disana. Rombongan itu dipimpin oleh seorang wanita yang berparas ayu. Sebagai ulama maka ketika pertama kali yang dilakukannya adalah membuat masjid sebagai sarana peribadatan, juga symbol dimulainya Syiar Islam di wilayah tersebut. Tak berapa lama masjid pun berdiri. Sebagaimana masjid pada umumnya di Nusantara dilengkapi dengan bedug, yang unik bedug itu tidak digantung dengan dua tali sebagaimana bedug di Masjid lain, yaitu menggantung pada satu taliu persis ditengah-tengah badan bedug.

Atas dasar keanehan tersebut, maka masjid itu diberi nama Masjid Talitengah, sedangkan wanita ulama itu pun disebut oleh rakyat sekitarnya dengan sebutan Nyai Gede Talitengah. Hingga kemudian hari seiring perjalanan waktu nama Talitengah berubah pelafaalannya oleh penduduk setempat daan lainnya menjadi Kalitengah.

Keberadaan bedug itu sendiri sayang sekali tidak dilestarikan dalam bentuk aslinya, kira-kira antara tahun 1950 – 60-an kala perehaban masjid, tali yang semula ada di tengah, diubah menjadi dua sebagaimana lazimnya bedug-bedug yang lain tanpa jelas apa maksudnya.

Nyai Gede Kalitengah selain seorang ulama, ia pun dikenal sakti dan pandai membuat kue seperti wanita pada umumnya. Ia pandai membuat kue caro (cara, sejenis kue apem). Suatu ketika ia membuat kue cara, tanpa disadari kayu bakar untuk menyalakan tungku telah haabis, sedangkan persediaan menipis. Maka tanpa keraguan ia menjulurkan kakinya sendiri sebagai sebagai pengganti kayu bakar, acara masak memasak kue caro dapat ia lanjutkan sampai tuntas.

Pada pertengahan 1990-an pernah suatu malam seorang penduduk Kalitengah yang berprofesi sebagai pedagang di pasar berjalan melintasi jembatan Triguna (perbatasan dengan Desa Kalibaru pemekaran Desa Kalitengah). Ia berjalan tergesa-gesa karena ia telat bangun. Di sisi jembatan ia melihat ada seorang wanita muda berparas cantik sedang duduk asyik membuat kue caro. Dalam kekalutannya karena merasa terlambat, ia terheran karena baru kali ini ada seorang penjual caro di sisi jembatan itu, dan penjualnya sendiri tidaklah ia kenal sama sekali. Semula ia tidak begitu menghiraukannya, namun setelah melampaui beberapa langkaah ia pun penasaran, kemudian menoleh ke belakang. Namun penjual caro tersebut entah menghilang kemana. Maka tersebarlah kabar yang diyakini oleh masyarakat setempat bahwa pedagang yang telat berangkat ke pasar itu telah melihat sosok dari Nyai Gede Talitengah atau Nyai Gede Kalitengah.

Menurut suatu riwayat, hingga akhir hayatnya Nyai Gede Kalitengah tidak menikah, oleh sebab itu ia tak memiliki keturunan, walaupun banyak yang ingin meminangnya. Ada kemungkinan yang sangat kuat salah seorang dari pelamar tersebut adalah penguasa Trusmi (entah Ki Buyut Trusmi atau Ki Gede Trusmi tidak begitu jelas). Hal itu bisa kita lihat dari sebuah acara tradisi tahunan yang dilakukan oleh penduduk Desa Trusmi yang disebut Nglamar Nyi Gede Kalitengah. Acara tersebut dilaksanakan persis sehari setelah acara selawean atau puncak Mauludan Trusmi, jadi pada malam 26 Maulud. Acaranya berupa arak-arakan yang rutenya berawal dari masjid Kramat Buyut Trusmi dan berakhir di Masjid Kalitengah. Sedangkan yang diarak adalah Wini (benih padi) yang sudah berumur ratusan tahun dan pendil (guci tembikar) peninggalan dari Ki Buyut Trusmi.

Acara adat Ngelamar Nyi Gede Kalitengah ini telah hilang sejak akhir tahun 60-an. Tidak jelas mengapa acara ini dihapuskan dari agenda tahunan Desa Trusmi.

Nyi Gede Kalitengah ketika wafat dikuburkan di komplek para gegeden di Astana Gunung Sembung, dan setiap Bulan Syawal penduduk desa Kalitengah menziarahi kubur leluhurnya sebagai ungkapan rasa terima kasih atas jasa-jasa beliau. Hingga sekarang masih ada pendudk Desa Kalitengah yang berjalan kaki ke Gunung Jati untuk melakukan upacara ngunjung tersebut. Desa Kalitengah saat ini memiliki luas 106,145 Ha. Dengan komposisi pemukiman 15,200 Ha, sawah 56,200 Ha, kebun 27,44 Ha dan pekuburan 0,500 Ha. Perbatasan dengan Desa Gesik di utara, di selatan Desa Panembahan, sebelah barat Desa Trusmi Wetan dan di sebelah timur Desa Kalibaru yang merupakan pemekaran dari Desa Kalitengah.

Daftar Nama-nama kuwu Desa Kalitengah, yaitu :

1.    Ki Gepor
2.    Ki Buyut Samawi
3.     Ki Majana
4.    Ki Warsika
5.    Miroh
6.    A. Biskah        : 1965 – 1984
7.    Radi Bulung        : 1984 – 1989
8.    Dana            : 1989 – 1994
9.    Suyudi            : 2003 – sekarang

Baca Selengkapnya »