SEJARAH DESA DAWUAN KABUPATEN CIREBON




ASAL USUL LENGKAP SEJARAH DESA DAWUAN KABUPATEN CIREBON Desa Dawuan terletak di wilayah Kecamatan Tengah Tani, yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Cirebon Barat. Nama Tengah Tani sendiri sebelum dijadikan nama Kecamatan adalah merupakan bagian dari wilayah Desa Dawuan atau nama salah satu blok dan merupakan salah satu sentra kegiatan penduduk di eks. Kecamatan Cirebon Barat tersebut. Asal Asul Sejarah Desa Dawuan Kab Cirebon

Nama Dawuan berasal dari kata Dawuhan/Dawuh yang berarti pangandika atau ucapan orang luhur. Kata Dawuh menurut pengertian Bahasa Cirebon diperuntukan terhadap makna kata ucapan yang disampaikan oleh para nabi, wali, ulama, raja dan orang-orang yang dianggap tinggi kedudukannya.

Tidak banyak data yang kami peroleh mengenai pengertian dan asal usul Dawuan selain pemahaman diatas, namun bukan berarti mengecilkan peranan dari Ki Gede Dawuan sendiri.
Dilihat dari luas wilayah Desa Dawuan yang sampai ke cantilan blok Truag (perbatasan dengan blok Bandit dan Desa Babadan Kecamatan Astana), maka kiprah Ki Gede Dawuan sangat besar pengaruhnya bagi pengembangan agama Islam di Cirebon.

Di Desa Dawuan terdapat beberapa situs pemakaman yang terdiri dari beberapa makam oran-orang soleh, diantaranya adalah pasarean Pangeran Satarengga, pasarean Ki Buyut Muji dan pasarean Ki Buyut Layaman serta Ki Buyut Kasih dengan Tajug Gosangnya yang unik. Dari data-data yang penulis peroleh, diantaranya dari R. Syarief Rohani Kesumawijaya, K.H. Irsyad Al Amin, R. Ismail dan Kyai Amad, para sesepuh yang masih memilki trah langsung dengan Ki Buyut Muji ini memberikan ceritera yang didapat secara turun temurun.

Dikisahkan bahwa nama asli Ki Buyut Muji adalah Sheikh Muhyidin atau Pangeran Abdul Hamid. Beliau adalah putra dari Pangeran Satarengga. Versi lainnya mengatakan bahwa beliau adalah putra dari Ki Ki Gede Gesik, sedangkan Pangeran Satarengga adalah mertuanya. Julukan Ki Buyt Muji diperoleh dari masyarakat berkenaan dengan aktivitas beliau yang suka wirid atau memuji Tuhan. Beliau adalah seorang ahli Tarekat yang memiliki banyak pengikut. Selain dikenal sebagai seorang ulama, Ki Buyut Muji juga seorang pejuang yang anti penjajah. Namun strategi perlawanannya tidak dilakukan secara frontal, tetapi secara politis dan halus. Ki Buyut Muji juga pendukung setia perjuangan Pangeran Suryanegara yang tidak lain adalah menantunya sendiri (suami dari anaknya yang bernama Ratu Jamaliyah).

Pada suatu hari ketika pemerintah colonial Belanda sedang melipatgandakan hasil pertanian dengan upaya memperbesar “water resource” yang ada di Detu Patok, terjadi peristiwa yang sangat tragis. Upaya untuk membendung air selalu mendapat kegagalan. Dam yang dibuat selalu kebobolan, sehingga banyak menewaskan raakyat yang tidak berdosa. Pemerintah kolonial akhirnya memohon bantuan kepada Sultan Mohammad Samsudin untuk dapat mengatasi bencana ini. Sultan akhirnya meminta bantuan kepada Mbah Buyut Muji untuk mencari penyebab bobolnya tanggul Setu Patok. Dengan ditemani oleh asistennya yang setia, yang bernama Ki buyut Kasih, Mbah Buyut Muji pergi ke Setu Patok untuk mencari penyebabnya.

Sesampainya di waduk, Mbah Buyut Muji dan Ki Buyut Kasih melakukan dzikir secara khusu. Keheningan dzikir yang dilakukan kedua orang sufi ini menciptakan suasana panas bagi mahluk lain yang menghuni telaga itu. Kemudian dari kedalaman air muncullah dua ekor ular raksasa yang menjadi penunggu tempat itu. “ampun tuan, kami matur tiwas, tidak akan mengganggu lagi” kata sang naga. “Hai taksaka, siapa kalian berdua“? Tanya Ki Buyut Muji. “saya adalah Nagaraja dan ini Nagagini istri hamba” jawab sang naga. Kemudian Ki Buyut Muji bertanya lagi, “mengapa kalian tega membunuh rakyat Cirebon yang tidak berdosa”?, hamba mohon ampun tuanku, hamba marah karena bangsa asing yang datang ke tempat ini merusak ketenangan kami, mereka mengambil tempat tinggal kami tanpa permisi.

Akhirnya Buyut Muji pun mengerti apa yang menjadi penyebab kemarahan penghuni Setu Patok ini. Sang nagapun akhirnya berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dan sebagai bukti bahwa telah melaksanakan tugas, Ki Buyut Muji membawa sang naga kehadapan Sultan, tetapi dengan mengecilkan dulu tubuhnya menjadi sebesar rokok, kemudian dimasukkan ke tepak bakonya.

Sesampainya dihadapan baginda Sultan, Ki Buyut Muji menghaturkan sembah bakti bahwa beliau telah berhasil melaksanakan tugasnya, kemudian Baginda Sultanpun menanyakan hasil kerja Ki Buyut Muji : “wahai Ki Tuji (begitu sultan biasa menyapanya), coba perlihatkan apa yang bias menjadi bukti hasil kerjamu”?. “Sendika dawuh Gusti, sebelum hamba perlihatkan sudilah paduka dan para pejabat colonial keluar istana, pinta Ki Buyut. “Baiklah Ki Tuji, ayo sekarang kita menuju alun-alun Sangkala Buana”.

Setelah sampai di alun-alun Keraton Kasepuhan barulah Ki Buyut Muji mengeluarkan kotak rokoknya. Semua orang yang dating ke alun-alun merasa kaget bercampur rasa takut melihat dua ekor naga yang sangat besar. Kedua tubuh naga memenuhi seluruh isi lapangan, sehingga Baginda Sultan memerintahkan Ki Buyut Muji untuk segera menyimpannya kembali. “Cukup Ki Tuji, saya sudah yakin dengan hasil kerjamu”. “Baiklah Gusti, hamba akan menyimpannya kembali
Kemudian kedua ular raksasa itu berubah menjadi kecil laagi, dan dimasukkan kembali ke tempatnya. Duhai Ki Tuji, adakah hal lainnya yang ingin kau laporkan?, “ada Gusti, sebelum ular ini kutaklukan, dia meminta agar tiap tahun diberikan tumbal seorang manusia, namun hamba menolaknya dan menggantinya dengan mengadakan upacara nadzar atau syukuran tiap tahun. Kemudian meminta diadakan pertunjukan wayang dan hamba sendiri yang menjadi dalangnya; tentu Buyut Muji. “Baiklah, laksanakan saja permintaannya agar rakyat di Desa Setu Patok dan sekitarnya selalu bersyukur kepada Tuhan. Dan sebagai penghormatan atas jasa-jasamu, maka aku berkenan memberikan tanah untuk pengembangan syiar yang kau lakukan”. Sambil mengucapkan terima Kasih dan amit mundur Ki Buyut Muji segera pergi menempati tanah pemberian sultan.

Tanah pemberian Sultan tersebut dinamai tanah Rancang. Tanah tersebut adalah wilayah perdikan (lokasi yang dibebaskan daari kewajiban membayar pajak dan upeti kepada kesultanan). Tanah Rancang terdiri dari :
1.   Rancang luasnya dahulu adalah sepanjang sisi selatan jalan raya Cirebon – Bandung dari Desa Dawuan hingga Desa Kedungdawa, namun sekarang hanya satu blok. Nama ini tercantum pada salah satu blok di Desa Dawuan.
2    Rancang Kawat, sekarang masuk wilayah Desa Kemlaka. Dan tempat itu dipakai sebagai kuburan umum.
3.   Sinar Rancang, sekarang menjadi Desa Sinar Rancang, letaknya di sisi atas Setu Patok.

Sampai akhir hayatnya Ki Buyut Muji dimakamkan di Blok Rancang. Sebelumnya ada versi yang mengatakan bahwa Buyut Muji dikuburkan di Desa Talun, namun kebanyakan meyakini bahwa setelah mendapatkan hadiah tanah rancang, Ki Buyut Muji sudah menetap di Rancang di kediaman mertuanya Pangeran Satarengga. Buyut Muji meninggalkan banyak pusaka berupa arit cemeti, keris, tombak dan Kitab serta sarung plekat yang sampai sekarang masih tersimpan oleh para turunannya.

Pertunjukkan wayang Kulit yang dilatarbelakangi legenda Setu Patok tersebut masih sempat dilakukan pada awal tahun 1990-an dengan dalang Ki Gluwer. Sekarang tidak ada turunan dalang, Gluwer yang melanjutkan profesi sebagai dalang, sehingga pertunjukkan wayang yang dilaksanakan oleh dalang turunan Rancang pun tidak bias diadakan lagi.

Pemerintah Desa Dawuan sendiri sudah berlangsung sejak lama, namun nama-nama Kuwu yang sempat tercatat hanya sedikit saja, yaitu :

1.   Salamun                      : 1970 – 1985
2.   Aan Anasi                   : 1985 – 1993
3.   Nasikin Abdulah         : 1994 – 2003
4.   Maana (Pjs)     : 2003 – sekarang

Sejarah Desa Dawuan Kab Cirebon

Silahkan Berbagi Share Info Ini ke Teman anda Melalui Facebook,Twitter dan Google plus di bawah ini ::




Cara Pasang Kotak Komentar Facebook di Blogspot