SEJARAH ASAL USUL DESA LEMAHABANG




SEJARAH ASAL USUL DESA LEMAHABANG KABUPATEN CIREBON mengenai perjalanan sejarah asal usul berdirinya desa/kelurahan Lemahabang ini dimulai pada kisaran abad 15 (Pustaka Kerajaan Cirebon : PH Yusuf Dendabrata), terjadilah perintisan pedukuhan Lemahabang. Pedukuhan Lemahabang merupakan pinggiran Desa Caruban yang keberadaannya dirintis oleh Datuk Abdul Djalil (Syaikh Lemahabang / Syaikh Siti Jenar).

Asal muasal berdirinya Desa Lemahabang Pedukuhan/ Desa Lemahabang merupakan hutan lebat dan hamparan rumput alang-alang yang hanya dihuni hewan melata dan berbagai jenis serangga ganas serta jenis hewan lainnya. Jika musim kemarau dating, sejauh mata memandang hamparan rumput alang-alang berwarna coklat tergelar, acap kali terbakar dan menyisakan abu yang menghitam, tapi jika musim penghujan tiba hamparan rumput tersebut berubah menjadi rawa-rawa tempat hewan liar membangun sarang.

Kedatangan dan usaha Syaikh Siti Jenar mengubah segalanya menjadi sebuah pedukuhan, dengan hanya membangun Tajug Agung yang sebelah kirinya dibangun kediaman beliau dan jarak 30 langkah di bangun pula 9 gubuk kayu beratap daun kawung tempat tinggal janda tua dan anak yatim. Janda tua dan anak yatim bukanlah manusia yang lemah yang minta dikasihani, bahkan sebaliknya mereka hidup mandiri dengan menganyam tikar danmencari kayu bakar bahkan dengan bercocok tanam memanfaatkan ladang yang ada.

Keberadaan Tajug Agung sangatlah penting sebagai penunjang beribadah dan kegiatan keagamaan lainnya, bahkan dari tempat inilah Syeikh Siti Jenar menyiarkan Islam. Keunikan dan cirri khas masyarakat pedukuhan Lemahabang antara lain dengan cara berpakaian, para wanita selalu mengenakan “kemben” (kain penutup dada) dan para pria selalu mengenakan “kain” (dester/jubah) juga dilengkapi golok di pinggang kiri sebagai lambing kehormatan kaum pria untuk melindungi kaum wanita, tentu itu semua bertolak belakang dengan adat istiadat dan budaya Kerajaan “Galuh Pakuan” saat itu.

Sepeninggal Syeikh Siti Jenar Pedukuhan Lemahabang menjadi sepi. Menjelang beberapa tahun kemudian munculah seorang pinageran bernama Pangeran Welang yang menghidupkan kembali segala aktivitas, baik dari perekonomian, kebudayaan dan keagamaan serta segala kehidupan di Pedukuhan Lemahabang. Pangeran Welang menetap di Blok Kringkel (Kroya), lalu beliau menuju ke saebelah barat Pedukuhan Lemahabang yang sekarang bernama Blok Tabet, dari Blok Tabet berpindah lagi ke sebelah selatan yang dinamakan Blok Makam panjang. Di Blok Makam Panjang beliau meninggalkan pusaka keris bernama Sikara Welang. Dari Blok Makam Panjang beliau pindah lagi ke sebelah selatn yaitu Blok Kamer, beliau menuju ke sebelah timur dan mengadakan ritual bertapa di Blok tersebut, sehingga daerah tersebut dinamakan Blok Tapa.

Perkembangan Pedukuhan Lemahabang sangatlah cepat dengan dibangunnya pasar sebagi tempat kegiatan perekonomian yang ramai dikunjungi saudagar dan pedagang dari luar daerah Lemahabang itu sendiri, dengan adanya hari pasaran setiap satu minggu sekali. Sebelah timur pasar digunakan kegiatan pandai besi, pembuatan alat dapur dan penyamakan kulit. Hal itu sangat mendukung, karena selain bangunan pokok (Tajug Agung) berdiri pula bangunan berderet melingkari Tajug Agung. Di samping itu, berdiri pula sanggar tempat pemujaan dan Vihara tempat beribadah umat Hindu dan Budha.

Nama Pedukuhan (desa) Lemahabang tentunya tidak terlepas dari perintis pedukuhan itu sendiri, yakni Syeikh Siti Jenar (Syeikh Lemahabang/datu Abdul Jalil).

Sudut pandang pemberian nama Pedukuhan (Desa) Lemahabang terbagi :
1.    Secara “lahiriah” pedukuhan Lemahabang diartikan ;
“Lemah” berarti “Tanah” dan “Abang” berarti “Merah”
Pedukuhan Lemahabang berarti Pedukuhan yang sebagian tanahnya merah atau Pedukuhan yang subur, sebab tanah merah adalah salah satu jenis tanah yang paling subur.
2.    Secara “Hakekat” pedukuhan Lemahabang diartikan :
    “Lemah” berarti “Tenang”, “Abang” berarti “Darah” (nafsu)
    Kata Lemahabang diartikan secara hakekat bahwa dimata Tuhan keberadaan manusia sederajat, yang kemuliaannya ditentuak oleh keimanan dan ketaqwaan masing-masing manusia itu sendiri, tentunya melalui proses hawa nafsu yang ada dalam diri manusia, baik dari hawa nafsu amarah, sawiyah sampai kepada hawa nafsu mutmainah.
    “Secara hakekat Lemahabang diartikan sebagai “hawa nafsu mutmainah” (ketenangan jiwa). Diharapkan warga Pedukuhan (Desa) Lemahabang identik dengan hawa nafsu mutmainah (ketenangan jiwa) dan tidak selalu mengumbar “Nafsu amarah”.

Perkembangan Pedukuhan Lemahabang pada abad 20 menjadi  salah satu daerah yang merupakan salah satu wilayah dari Kabupaten Cirebon yang sekarang dikenal sebagai Desa Lemahabang Kulon dan  Desa Lemahabang Wetan hasil dari pemekaran Desa Lemahabang, tepatnya terjadi pada tahun 1985.

Nama-nama Kepala Desa Lemahabang dan Desa Lemahabang Wetan yang diketahui diantaranya :

1.    nata Wijaya    : 1901 – 1917
2.    Marta    : 1917 – 1923
3.    Sarminah I    : 1923 – 1927
4.    Sema    : 1927 – 1934
5.    Muad    : 1934 – 1943
6.    Mustakia I    : 1943 – 1946
7.    Sarminah II     : 1946 – 1949
8.    Mustakia II     : 1949 – 1953
9.    Dastra    : 1953 – 1965
10.    Temu     : 1965 –
11.    Andar Munandar (alm)     : 1985 – 1994
12.    Abdullah H (Pjs)    : 2002 – 2003
13.    Edi Hartono (Pjs)    : 2003 – 2005
14.    Turino Junaedi    : 2005 – sekarang

Riwayat singkat Desa Lemahabang Kulon setelah adanya pemekaran wilayah dipimpin oleh (alm) Bapak Andar Munandar selaku Kepala Desa Lemahabang Kulon yang pertama dengan masa jabatan tahun 1985 sampai dengan tahun 1994, dan beliau melanjutkan masa kepemimpinan periode kedua sampai akhirnya beliau meninggaldunia sebelum masa jabatannya habis. Sepeninggal beliau, tumpuk kepemimpinan Desa Lemahabang Kulon dijabat oleh para Pejabat Sementara, yaitu :

1.    Bapak Abdullah H (Sekdes) periode tahun 2002 - 2003
2.    Bapak Edi Hartono (Kaur Pemerintahan Desa Lemahabang Kulon) periode tahun 2003 – 2005

Pada tanggal 26 Januari 2005 tampuk kepemimpinan Desa Lemahabang Kulon dijabat oleh Bapak Turino Junaedi selaku Kepala Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat Lemahabang Kulon.

Sebuah pepatah mengatakan : “Barang siapa yang meninggalkan dan melupakan seni budaya dan para leluhurnya, maka terimalah kehancuran dari suatu daerah tersebut”.

Silahkan Berbagi Share Info Ini ke Teman anda Melalui Facebook,Twitter dan Google plus di bawah ini ::




Cara Pasang Kotak Komentar Facebook di Blogspot