Tampilkan postingan dengan label ASAL USUL DESA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ASAL USUL DESA. Tampilkan semua postingan

HARGA KAMAR HOTEL ASTON CIREBON PER MALAM

HARGA KAMAR HOTEL ASTON CIREBON PER MALAM . Baiklah pada kesempatan ini kami akan memebrikan info mengenai Tarif Harga dan Jenis Kamar Hotel Aston Cirebon ::


NO JENIS KAMAR TARIF KAMAR
1 Superior  Rp             628.000
2 Deluxe  Rp             728.000
3 Junior Executive  Rp             828.000
4 Executive  Rp             928.000
5 Suite  Rp          1.128.000
6 President Suite  Rp          3.500.000




Alamat Hotel Aston Cirebon : Jl. Brigjen Dharsono No. 12C (By Pass), Jawa Barat 45132

Nomor Telepon Hotel Aston Cirebon : (0231) 8298000

Fasilitas Hotel Aston Cirebon ::

1. Tempat Parkir   
2. Restoran   
3. Coffee Shop   
4. Bar                   
5. Kolam Renang
6. Conference Hall
7. Diskotik
8. Karaoke
9. Biro Perjalanan
10. Laundry
11. Taxi
12. Keamanan

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA TRUSMI KABUPATEN CIREBON

SEJARAH ASAL USUL DESA TRUSMI KABUPATEN CIREBON , Pada hari ini informasi yang akan disampaikan mengenai Asal Usul Sejarah Berdirinya Desa Trusmi Kab Cirebon

Ketika itu Mbah kuwu Cirebon yang bernama Pangeran Cakrabuana hijrah dari Cirebon ke sebuah Daerah yang sekarang disebut Trusmi, mbah Kuwu Cirebon berganti pakaian memakai baju kyai yang tugasnya menyebarkan ajaran agama Islam. Hingga sekarang ia dikenal dengan nama Mbah Buyut Trusmi.

Mbah Buyut Trusmi adalah putra dari Raja Pajajaran Prabu Siliwangi yang datang ke Trusmi disamping menyebarkan agama Islam juga untuk memperbaiki lingkungan kehidupan masyarakat dengan mengajarkan cara-cara bercocok tanam. Pangeran Manggarajati ( BUNG CIKAL ) putra pertama Pangeran Carbon Girang, yang di tinggal mati ayahnya ketika Bung Cikal kecil. Kemudian Bung Cikal diangkat anak oleh Syekh Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati ) dan diasuh oleh Mbah Buyut Trusmi.

Kesaktian Bung Cikal sudah terlihat sejak masih kecil yang sakti mandraguna. Salah satu kebiasaan Bung Cikal adalah sering merusak tanaman yang ditanam oleh Mbah Buyut Trusmi. Teguran dan Nasehat Mbah Buyut Trusmi selalu tidak di hiraukannya, namun yang mengherankan, setiap tanaman yang dirusak Bung Cikal tumbuh dan bersemi kembali sehingga lama kelamaan pedukuhan itu dinamakan TRUSMI yang berarti terus bersemi. (Pedukuhan Trusmi berubah menjadi sebuah Desa di perkirakan tahun 1925, bersamaan dengan meletusnya perang Diponegoro ).

Bung Cilkal meninggal ketika menginjak usia remaja dan dimakamkan di puncak Gunung Ciremai. Konon pada akhir zaman akan lahir RATU ADIL, titisan dari Pangeran Bung Cikal. Setelah Mbah Buyut Trusmi meninggal, ia digantikan KiGede Trusmi, orang yang ditaklukkan Mbah Buyut Trusmi, dimana kepemimpinan Trusmi dilanjutkan oleh keturunan Ki Gede Trusmi secara turun temurun.

Desa Trusmi termasuk wilayah Kecamatan Weru, dan telah dimekarkan menjadi dua yaitu Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon. Situs Ki Buyut Trusmi merupakan peninggalan Mbah Buyut Trusmi terletak di Trusmi Wetan. Bangunannya terdiri dari Pendopo, Pekuncen, Mesjid Kuno, Witana, Pekulaha/Kolam, Jinem, Makam Buyut Trusmi dam Pemakaman Umum.

Situs Buyut Trusmi dipelihara dan dikelola oleh keturunan dari Ki Gede Trusmi hingga sekarang, yang semuannya berjumlah 17 orang yang terdiri dari 1 orang pemimpin, 4 orang kyai, 4 orang juru kunci, 4 orang kaum/pengelola mesjid, dan 4 orang pembantu/ kemit.

Acara tradisional yang masih tetap dilestarikan sampai sekarang diantaranya : Arak-arakan, Memayu, Ganti Welit dan Trusmian atau Selawean yaitu acara memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW.

Itulah diatas informasi yang dapat kami bagikan silahkan Baca Juga :: TEMPAT ALAMAT WISATA MUSEUM PANGERAN CAKRABUWANA KABUPATEN CIREBON

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA WANASABA KABUPATEN CIREBON

SEJARAH ASAL USUL DESA WANASABA KABUPATEN CIREBON , Baiklah untuk kali ini kami sampaikan Asal Usul Sejarah Berdirinya Desa Wanasaba Kab Cirebon 

Wanasaba adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Talun, kurang lebih 6 KM dari Ibukota Sumber. Diantara semua desa yang ada di kecamatan talun , terdapat dua desa yang namanya sama, hanya dibedakan dengan nama dibelakangnya Lor dan Kidul, yaitu Desa wanasaba Lor dan Wanasaba kidul.

Di Desa Wanasaba Kidul terdapat beberapa peninggalan sejarah yang ada hubungannya dengan Kasultanan yang ada di Keraton Cirebon yaitu sebuah Balong yang dinamakan Balong Widara, disitu terdapat rumah bekas keturunan Sultan Cirebon.

Selain yang ada di Balong Widara, ada pula rumah bekas keturunan Sultan Cirebon yang lokasinya sekarang dipinggir jalan Wanasaba-Kubang Kecamatan Sumber sebelah barat atau tepatnya sebelah utara Balai Desa Wanasaba Kidul.

Pada Zaman penjajahan jepang, Ki Gede Singaperjangga (Ki Gede Wanasaba) mendapat perintah untuk merubah nama Dukuh Dalem Cirebon Ilir menjadi Desa Wanasaba. Masih pada zaman jepang, Desa Wanasaba dipecah menjadi Wanasaba Lor dan Wanasaba Kidul sampai sekarang. Sedangkan Wanasaba berasal dari kata wana=alas atau hutan, dan saba=dikunjungi (dilongok-bhs sunda). Wanasaba berarti alas atau hutan yang dikunjungi.

Di Desa wanasaba ada sebuah blok/kampung yang disebut blok Balong, karena disitu terdapat beberapa balong kepunyaan masyarakat, namun ada satu balong yang menarik karena keunikannya. Kurang lebih tahun 934 M, Pangeran Ahmad Samaun dari Kasultanan Kanoman memugar Balong tersebut dan dijadikan sebagai tempat kediamannya, sehingga ia terkenal dengan sebutan Pangeran Balong.

Di kompleks balong tersebut terdapat dua buah menhir yang tegak, tinggi dari permukaan tanah kurang lebih 70 cm dan lebarnya 30 cm yang terkesan seperti Lawang Saketeng (Gapura) keraton tempo dulu. Konon pada zaman dulu tak seorangpun diperbolehkan lewat di antara dau buah batu itu tanpa di ketahui maksudnya. Di kompleks ini terdapat pula sebuah balong yang berbentuk huruf L.
Menurut keterangan Elang Alimi ( Putra keempat dari Pangeran Balong ) yang bernama asli Elang Jatmaningrat bin Pangeran Ahmad Samaun ( Pangeran Balong ), ketika balong tersebut dipugar memang sudah berbentuk huruf L, namun balong tersebut dalam keadaan tidak teratur dan tertimbun tanah, sedangkan batu-batunya masih tetap tersusun rapi hanya ada beberapa bagian yang di tambah dengan batu-batuan yang hampir sama bentuknya, dan sayang sekali kini bentuk huruf L-nya telah mengalami perubahan.

Ditengah kolam terdapat empat buah tumpukan batu, yang seakan-akan mengandung makna tertentu, karena setiap tumpukan terdiri dari tiga buah batu yang tidak jauh letaknya dengan pohon beringin yang lurus menatap langit terkurung air. Disebelah timur kolam pernah berdiri sebuah bangunan kuno yang disebut Pancaniti. Bangunan ini tidak mempergunakan genteng yang terbuat dari tanah, akan tetapi mempergunakan welit (Alang-alang) sebagai atapnya yang diikat rapi, sayang sekali puing-puingnya kini telah musnah tiada bekasnya.

Selain itu, sebelah utara Balai Desa Wanasaba Kidul atau tepatnya disebelah barat jalan menuju Desa Kubang, terdapat bekas reruntuhan rumah keraton sebagai rumah biasa, yakni peristirahatan permaisuri.

Itulah diatas informasi yang dapat kami informasikan silahkan Baca Juga :: Alamat empal gentong H Apud

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA KALIKOA

SEJARAH ASAL USUL DESA KALIKOA KABUPATEN CIREBON , Berikut ini akan kami sampaikan Asal Usul Sejarah Berdirinya Desa Kalikoa Kab Cirebon 

Pada zaman dahulu kala ada seorang putra Raja Demak bernama Akhmad telah lama menuntut ilmu di pesantren. Sewaktu pulang dari pesantren, ia ditemui bupati yang mendapat pesan dari ayahandanya, agar ia menyusul ayahnya berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dengan dibekali kapal beserta isinya untuk keperluan selama dalam perjalanan.

Dalam perjalanan ke tanah suci dengan mendapat pengawalan prajurit Demak, kapalnya terdampar di daratan Cirebon yang pada  waktu itu berada dibawah kekuasaan Prabu Anom.

Mendengar ada kapal terdampar, Prabu Anom segera memerintahkan Patih Wisa Geni untuk menyelidiki siapa orang yang ada dalam kapal tersebut. Patih Wisa Geni datang menemui mereka dan Ahmad menjelaskan bahwa mereka terdampar dengan tujuan semula akan ke tanah suci menyusul ayahnya menunaikan ibadah haji.

Setelah Patih Wisa Geni melaporkan  kepada Prabu Anom, lalu Sang Prabu menyarankan agar Ahmad tidak terus melanjutkan perjalanannya ke tanah suci, tetapi diminta untuk tinggal di keraton Cirebon. Lalu Ahmad bersama prajuritnya membongkar isi kapal dan mengikuti saran Sang Prabu untuk tinggal di Keraton Cirebon.

Prabu Anom ingin mencoba kesaktian Ahmad, maka disuruhlah Ahmad menggambar/melukis. Ternyata gambar-gambar yang dilukisnya sangat bagus dan indah. Oleh karena itu Prabu Anom memberi nama Sumbing Blambang Kara kepada Ahmad.

Setelah Prabu Anom menguji lagi dengan menyuruh melukis istrinya. Semula Sumbing menjawab tidak bisa karena belum pernah melihat Sang Permaisuri. Namun Prabu Anom mengancam apabila sumbing tidak dapat melukis istrinya, maka Sumbing akan dibunuh. Akhirnya Sumbing menuruti perintah Prabu Anom untuk melukis Sang Permaisuri yang belum pernah dilihatnya itu.

Karena kesaktiannya, gambar yang dibuatnya ternyata bagus sekali sesuai dengan aslinya. Lukisan istri Prabu Anom persis sekali dengan orangnya, baik bentuk rambut, kuping, kulit, hidung, mata, buah dadanya, bahkan kemaluannya pun dilukisnya. Dan pada saat lukisannya selesai  dibuat, tinta yang dipakai melukis menetes tepat pada gambar kemaluan sang permaisuri. Semula lukisan tersebut akan disobek, tetapi mengingat ia akan dibunuh apabila tidak berhasil membuatnya, maka lukisan itu terpaksa ia serahkan kepada Prabu Anom. Ternyata lukisan tadi dipuji Prabu Anom, karena memang pada kemaluan istrinya ada tanda hitam, tepat dimana tinta Sumbing menetes.

Selanjutnya timbul kecurigaan Prabu Anom terhadap Sumbing, jangan-jangan Sumbing sudah melihat  tubuh istrinya dan berbuat tidak senonoh dengannya. lalu Sumbing dipindahkan ke Suryaraga (sekarang Sunyaragi). Sisa tinta yang dipakai melukis dibuang ke tengah laut dan dimakan ika Blakutak.

Timbul niat jahat Prabu Anom untuk menyingkirkan Sumbing karena takut kesaktiannya tersaingi. Oleh karena itu Prabu Anom memerintahkan Sumbing membuat layang-layang dengan gambar bunderan. Setelah itu Sumbing diperintah membuat taman di Sunyaraga dalam waktusatu hari, dan apabila tidak berhasil maka Sumbing akan dibunuh. Karena kesaktiannya, semua perintah Prabu Anom dapat diselesaikan Sumbing dengan cepat.

Setelah taman terwujud, Prabu Anom belum puas juga menguji kesaktian Sumbing. Selanjutnya Sumbing disuruh menaikan/mengejar layang-layang yang diterbangkannya. Setelah layang-layang terbang tinggi naik keatas, tiba-tiba layangan itu miring. Sumbing diperintahkan untuk membetulkan dengan cara naik melalui benang layang-layang tersebut. Lalu naiklah Sumbing ke atas dan pada saat itu niat jahat Prabu Anom untuk mencelakakan Sumbing segera dilaksanakan dengan cara memotong benang layang-layang tersebut.

Layang-layang itu pun putus dari benangnya, lalu terbang kesana kemari tanpa kendali, akhirnya disebuah desa bernama Gali(Sekarang Kalimulu), sedangkan Sumbing jatuh di negeri tar-tar Cina tersangkut disebatang pohon bambu yang bernama ori.

 Di Negeri Tar-tar Cina tersebut ada seorang pemuda yang sedang tidur dan bermimpi pergi memancing ke suatu daerah di bawah pohon bambu. Di dalam mimpinya itu, ia mendapat ikan kakap emas. Pada saat akan memancing di bawah pohon bambu, dimana Sumbing tersangkut, ia mendengar suara orang yang tak lain adalah Sumbing, meminta tolong untuk diturunkan. lalu Sumbing segera diturunkan dan dibawa kerumahnya. Saat itu di negeri tar-tar sedang berjangkit wabah penyakit yang susah disembuhkan.

Oleh karena Sumbing memiliki kesaktian, ia berhasil mengobati orang-orang yang sakit. Kejadian tersebut terdengar oleh raja yang pada saat itu anak gadisnya juga menderita sakit. Raja berjanji apabila Sumbing dapat menyembuhkan putrinya, maka dia kan dinikahkan dengannya.

Ternyata putri raja yang sangat cantik rupawan itu dapat disembuhkan. Sumbing kemudian dinikahkan dan mereka diberi modal untuk berdagang barang-barang keramik diluar tar-tar. barang dagangan keramik Sumbing laku keras, sehingga menimbulkan persaan iri hati pedagang lain. para pegdagang serentak bersatu menyerbu, tetapi Sumbing berhasil melompatdan menghilang dan berdiam di Karang Pondo disebelah selatan Warung Asem. Ditempat persembunyiannya Sumbing kedinginan, lalu ia membuat bakar-bakaran yang abunya berterbangan menjadi arang hingga jatuh ke daerah Mandiangin(tempat tersebut disebut Siareng), juga keselatan ke daerah Sigeber yang sekarang menjadi perbatasan Desa Kalikoa. Sumbing menjadi guru ngaji disana . Banyak Ki Gede yang belajar ngaji padanya.

Pada saat itu taman Sunyaraga mengalami kerusakan parah dan hanya dapat dibetulkan oleh orang Tar-tar dari daratan Cina. Lalu Prabu Anom mengutus Patih Wisa Geni untuk mencari orang Tar-tar yang pernah menolong Sumbing Balmbang Kara. Orang tersebut menyanggupi dengan syarat dia minta diberi upah istri Prabu Anom yang termuda, yaitu yang ke - 40 yang cantik jelita.

Prabu Anom menyetujuinya dan akhirnya taman Sunyaraga pun dapat dibetulkan dengan upah istri Prabu Anom yang ke-40 sesuai dengan perjanjian. Melihat kejadian itu Patih Wisa Geni menjadi iri hati dan mengajak orang tar-tar tadi bertanding.

Orang Tar-tar tersebut dapat dikalahkan oleh Patih Wisnu Geni. Kepalanya dipenggal hingga mental jauh ke Kedung Teja dan badannya tertinggal di Sunyaraga.
Saat kepalanya hampir jatuh ke Kedung Teja. orang tersebut mengucap Cikoa, maka oleh Sumbing ia dimakamkan di gedongan. Daerah tersebut sekarang disebut Kalikoa. Setelah meninggal, Sumbing terkenal dengan pangggilan "Syekh Ahmad Pangiran Panji"

Mungkin hanya ini saja informasi yang dapat kami informasikan silahkan Baca Juga :: Sejarah Asal Usul Desa Klangenan Kab Cirebon

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA KLANGENAN

SEJARAH ASAL USUL DESA KLANGENAN KAB CIREBON . Baiklah bagi anda yang membutuhkan informasi seputar Asal usul sejarah berdirinya Desa Klangenan Kab. Cirebon , kami akan membagikannya untuk anda yang sedang membutuhkan informasi ini .

Kisah ini berawal ketika Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh seorang Raja, Raja tersebut sangat tertarik dan simpati terhadap ajaran agama Islam, ia mengutus kedua putranya yakni Raden Parta Kesumaatmaja dan Raden Kesumaatmaja untuk menuntut ilmu agama Islam di Cirebon.

Pada masa itu perkembangan agama Islam di Cirebon sangat pesat dipimpin oleh Syarif Hidayatullah yang bergelar sebagai Sunan Gunung Jati. Kemudian setelah mendapat restu, Raden Parta Kesumaatmaja dan Raden Kesumaatmaja berangkat menuju Kesultanan Cirebon dan langsung disambut hangat oleh Sinuhun Cirebon.

Keduanya menjadi murid yang taat dan patuh pada ajaran agama Islam sebagaimana yang diajarkan oleh gurunya. Setelah cukup lama tinggal berguru di Cirebon, Raden Parta Kesumaatmaja memohon izin untuk pergi ke daerah Majalengka lalu tinggal di sekitar aliran sungai Cimanuk yang mengalir sampai ke Indramayu. Sedangkan adiknya Raden Kesumaatmaja menetap di Cirebon sesuai dengan perintah ayahanda dan gurunya.

Ketika datang tantangan perang Kerajaan Rajagaluh yang tidak senang terhadap perkembangan aga Islam di wilayahnya, Sunan Gunung Jati menugaskan para sepupuh Cirebon termasuk Raden Kesumaatmaja untuk menghadapi tantangan perang tersebut. Raden Kesumaatmaja dibantu Ki Ragapati, Ki Dugal, Ki Torek, dan Nyi Sebrod dengan tulus ikhlas menerima tugas untuk menghadapi perang di daerah perbatasan (sekitar Desa Pegagan). Dalam peperangan tersebut , Raden Kesumaatmaja mendapat kemenangan gilang-gemilang.

Setelah keadaan aman dan perang selesai, Raden Kesumaatmaja beserta para pembantunya diizinkan untuk mendirikan pedukuhan di hutan yang di dalamnya terdapat sebuah bukit. Pedukuhan tersebut diberi nama Wanagiri. “Wana” artinya hutan, sedangkan “Giri” artinya gunung. Sedangkan Raden Kesumaatmaja dijuluki Buyut Nampabaya, oleh karena “keikhlasannya menerima bahaya perang”.

Pada suatu saat Buyut Nampabaya beserta pengikutnya mengadakan pertemuan di bawah sebatang pohon besar yang rindang (berada di lokasi balai desa sekarang). Dalam pertemuan tersebut ia merasa “Nglangen” atau senang sekali dapat menikmati keindahan alam, terutama pemandangan ke arah selatan yang mengagumkan serta hijau dan birunya Gunung Ciremai. Selanjutnya tempat tersebut sering digunakan tempat bermusyawarah untuk membicarakan berbagai kepentingan masyarakat .

Ki Buyut Nampabaya beserta pengikutnya bersepakat memberi nama tempat pertemuan itu Klangenan. Nama tersebut diabadikan hingga sekarang untuk nama Desa Klangenan, juga nama Kecamatan Klangenan.

Nama Kepala Desa Klangenan Kec. Klangenan Terbaru Periode 2016-2019 yaitu Rochmat Hidayat yang dimana waktu pemilihan Kepala Desa bersaing dengan Istrinya Sendiri karena tidak ada calon lainnya . Dikarenak tidak boleh hanya calon tunggal jadi terpaksa Rachmat Hidayat mengajak istrinya untuk mencalonkan pemilihan Kepala Desa .

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA UJUNGGEBANG

SEJARAH ASAL USUL DESA UJUNGGEBANG KABUPATEN CIREBON . Desa Ujunggebang adalah salah satu dari 12 desa di wilayah Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon yang letaknya paling ujung barat laut berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu.

Desa yang memiliki luas 633 Ha ini masyarakatnya masih sangat kuat dalam melestarikan adat istiadat dan memiliki berbagai jenis kesenian, hutan lindung (tanah adapt/Wali Surat) serta dikelilingi 9 pecanden/petilasan ini asal usulnya sebagai berikut:

Setelah Syarif Hidayatullah dinobatkan raja di Keraton Pakungwati Cirebon sebagai Saunan di Gunung Jati tahun 1482 M, mempunyai Wadyabala dan Bayangkari Keraton Pakungweati yang sangat tangguh yang dipimpin oleh P. Carbon (putranya Mbah Kuwu Cakra Buana) dengan sebutan Senopati Yuda Laga (Panglima Perang Keraton Cirebon). P. Carbon mempunyai bawahan ayang patuh, setia dan pemberani bernama Anyung Brata.Anyung Brata mengandung arti A= Aku, Nyung = selalu siap siaga, Brata = perang.

Anyung Brata selalu berada di barisan depan bila ada kerusuhan, peperangan dan keributan, karena keberaniannya itu Anyung Brata selalu disayang oleh P. Carbon sebagai panglima perang.

Untuk menambah keprawiraan, Kedigjayaan, kanuragan dan pengetahuan keagamaan serta kema’rifatan, P. Carbon dan Anyung Brata berguru ilmu kepada seorang Wali yang mempuni dalam kema’rifatan ialah Sekh Lemah Abang/Sekh Siti Jenar/Sekh Jabal Rantah. Yang mengajarkan Si’ah Munta Dzar atau paham Wihdatul Wujud/manunggale kawula lan Gusti.

Oleh Dewan Wali ajaran Sekh Lemah Abang dianggaop menyimpang karena tidak sesuai dengan Syareat Islam, dan dianggap mengganggu proses penyebaran Syareat Islam.

Atasan usulan para Wali Sultan Demak sebagai besan dan sesama ratu/raja di Jawadwipa yang menganut ajaran Islam (agama ageing aji) mengirim surat kepada Sunan Gunung Jati dan pasukan yang tangguh sebanyak 700 orang untuk menangkap dan membunuh Sekh Lemah Abang beserta para muridnya.

Kedatangan pasukan Demak dengan jumlah besra ini, membuat kaget bayangkari keratin Pakungwati. Setelah tahu maksud dan tujuannya untuk membunuh Sekh Lemah Abang  beserta murid dan para penganutnya, P. Carbon sebagai Panglima Perang dan juga sebagai murid andalan Sekh Lemah Abang menjadi tegang, karena hampir 80 % wadyabala dan Bayangkari Keraton Pakungwati adalah muridnya Sekh Lemah Abang.

Untuk menghindari pertumpahan darah anatara wadyabala Demak dan Cirebon, sesepuh Cirebon Mbah Kuwu Cirebon dan para pelaksana hukum serta para senopati keraton Cirebon yaitu Pangeran Kejaksan, Pangeran Panjunan, Ki Ageng Bungko dan Pangeran Carbon, menyarankan agar yang diadili adalah Sekh Lemah Abang saja sebagai Maha Guru yang harus mempertanggungjawabkannya. Usulan itu disepakati kemudian diadakan sidang tuntutan/gugatan para Wali kepada Sekh Lemah Abang yang digelar di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon.

Dengan peristiwa itu para bekas murid Sekh Lemah Abang selalu diawasi oleh para penganut Sya’fei, Hanafi, dan Hambali.

Untuk menenangkan diri dan menahan diri  jangan sampai terjadi “perang kadang ibur batur”

Anyung Brata membawa istri tercintanya Nyi Mas Kejaksan putrid P.Kejaksan dan abdinya yang setia yaitu Ki Gawul (Ki Tambak) dan Ki Santani (Ki Bogo), keduanya dari daerah Pasundan. Meninggalkan Keraton Pakungwati ke arah barat daya Wilayah Keraton Pakungwati Cirebon di perbatasan wilayah Darma Ayu (Indramayu). Anyung Brata dan pengikutnya menyamar seperti masyarakat biasa lalu membuka hutan untuk dijadikan Pedukuhan.

Waktu babad alas karena tak ada air, Nyi Mas Kejaksan meminta kepada suaminya supaya dicarikan air untuk minum dan masak.

Dengan ilmu kesaktiannya Buyut Anyung Brata menjejak Bumi 3x saking kerasnya jejakan kaki Buyut Anyung Brata tanah itu berlubung dan mengeluarkan air walaupun sedikit tapi ada.

Belik  ini  diberi  nama belik / sumur  Satana  (asat tapi ana)

Perang kadang ibur batur, sebuah guyon tonton atau disebut pula ungkapan tradisi yang mempunyai arti kiasan yaitu perang saudara
namun setelah diminum airnya terasa asin seperti air laut, kemudian Buyut Anyung Brata mencari lokasi/tanah yang tepat ke arah tenggara   ± 150 m supaya airnya tawar. Dengan jejakan kaki yang lebih kuat, maka tanahpun berlubang sangat dalam dan mengeluarkan air deras, rasanya tawar diberi nama Sumuran.

Tanah di hutan ini sangat subur cocok untuk pertanian dan palawija. Buyut Anyung Brata membabat hutan untuk dijadikan sawah dan diberi nama blok Si Berkat/Sri Berkah, Sri berarti padi, Berkah berarti diharapkan mendapat berokah atau dinamakan Si Berkat.

Kita tunda Buyut Anyung Brata, di tepi pantai wilayah Darma Ayu tepatnya di Desa Junti ada seorang aki dan nini yang punya tanaman palawija (Kebon Jagung), mempunyai seorang anak angkat Nyi Mas Pandan Sari atau disebut Nyi Mas Junti.

Di pagi hari yang sangat cerah Nyi Pandan Sari mandi dan mencuci pakaian di sungai (kedokan), sinar mentari pagi nan cerah menerpa wajah Nyi Mas Pandan Sari yang cantik jelita bagai bidadari dari kayangan.

Tanpa disengaja ada seorang laksamana dan saudagar kaya dari negeri Cina bernama Sampo Kong/Sampo To Alang atau disebut Dampu Awang mendekati Nyi Mas Junti yang sedang mandi, timbul hasratnya untuk meminangnya, namun karena belum kenal Ki Dampu Awang melangkah mendekatinya untuk mengenalkan diri dan menyampaikan hasratnya, namun Nyi Mas Junti yang masih muda belia ini sangat ketakutan melihat ada orang asing yang mendekatinya, ia lari meninggalkan sungai/kedokan. Dikemudian hari tempat itu menjadi desa Junti Kedokan.

Dampu Awang merasa gugup lalu segera mengejarnya namun kehilangan jejak, Nyi Mas Junti sembunyi di Kebon Jagung, disaat kebingungan dating aki dan nini, Ki Dampu Awang menanyakan apakah ada gadis yang berlari kesini? Dan menerangkan cirri-cirinya Aki dan Nini tersenyum, dan menjelaskan bahwa gadis itu anak angkatnya bernama Nyi Mas Pandan Sari. Lalu Ki Dampu Awang bermaksud melamarnya. Nyi Mas Junti yang sedang bersembunyi karena ketakutan membuat batang jagung bergerak-gerak, Dampu Awang segera mendekatinya. Nyi Mas Junti lari meninggalkan Kebon Jagung. Tempat itu kelak menjadi Desa Junti Kebon.

Nyi Mas Junti terus lari karena ketakutan (Jawa = Ke wedhi en), kelak tempat ini menjadi Desa Junti Wedhen, Wedhen dari kata Wedhi en. Tanpa piker panjang Nyi Mas Junti menyelinap ke dalam rumpun bamboo berduri (Cirebon = Pring Ori), begitu sadar dirinya sudah berada di tengah rumpun bamboo berduri.

Melihat Nyi Mas Junti masuk ke rumpun bamboo/Pring Ori yang lebat Ki Dampu Awang tidak kehilangan akal, ia menaburkan kepingan uang emas dengan jumlah sangat banyak ke rumpun bamboo itu. Dalam benaknya percuma kaya harta benda tapi tidak bisa hidup bersanding dengan Nyi Mas Junti, lalu Ki Dampu Awang mengundang masyarakat, setelah kumpul Ki Dampu Awang mengumumkan bagi siapa saja yang ingin kaya atau memiliki banyak emas silahkan ambil uang emas yang saya taburkan di rumpun bamboo yang lebat ini. Sepontan masyarakat tersebut menebang batang bamboo berduri sambil memunguti uang emas, dengan suara gaduh batang bamboo yang roboh disertai sorak-sorai, karena keinginan mendapatkan kepingan emas, sampai sekarang orang Junti banyak memiliki emas yang banyak.

Seorang Wali bernama Sekh Bentong sedang n’jaring (mencari ikan) di tepi pantai, sayup-sayup mendengar sorak-sorai yang gaduh, karena penasaran ia mendekati sumber suara. Setelah bertanya kepada seseorang tentang permasalahannya, Sekh Benthong semedi sejenak, setelah mendapat wangsit/firasat bahwa Nyi Mas Junti tidak ditakdirkan berjodoh dengan Ki Dampu Awang, Ki Sekh Benthong secepat kilat menyambar tubuh Nyi Mas Junti yang tengah memegang erat batang bambu  berduri (Pring Ori), yang nyungat/Cirebon. Tinggalse batang. Tempat itu kelak menjadi Desa Junti Nyungat.

Mengetahui Nyi Mas Junti dibawa lari oleh seseorang, maka Dampu Awang segera mengejarnya. Menurut mitos Dampu Awang mengejar Nyi Mas Junti menaiki perahu dan melayang terbang di angkasa, Ki Sekh Benthong dengan kemampuan ilmunya bagaikan kidang kencana dapat lari cepat sambil menggendong Nyi Mas Junti, sampai di perbatasan wilayah Cirebon, karena haus Nyi Mas Junti minta berhenti mencari air untuk minum, melihat ada Belik dan ada airnya. Nyi Mas Junti minum air itu dan Belik itu kelak diberi nama Sumur Pandan Sari. Yang letaknya di Desa Candang Pinggan kecamatan Kertasmaya Kabupaten Indramayu.

Kemudian Ki Sekh Bentong dan Nyi Mas Junti berjalan kaki memasuki wilayah Keraton Cirebon bertemu dengan Buyut Anyung Brata yang sedang mencangkul sawah adat Sri Berkah/Si Brekat, setelah berkenalan Sekh Bentong menitipkan Nyi Mas Pandan Sari/Nyi Mas Junti kepada Buyut Anyung Brata dan menceriterakan perihal Nyi Mas Junti.sampai akhir. Untuk mengecoh Dampu Awang yang masih mengejarnya Ki Sekh Benthong (seorang Wali), menancapkan teken / Cirebon, tongkat bambu/pring wulu wungwang lalu diberi rajah/isim/arab gundul, maka seketika “teken” itu hilang timbul menjadi hutan belantara dan diberi nama Alas Wali Surat. Alas = hutan, Wali = seorang wali, Surat = berbentuk surat yang berisi rajah/isim, dan selanjutnya keselamatan Nyi Mas Pandan Sari/Nyi Mas Junti diserahkan kepada Buyut Anyung Brata dan menyarankan agar menikahinya, kemudian Sekh Bentong permisi guna melanjutkan perjalanan.

Karena kuatir keberadaan Nyi Mas Junti diketahui oleh Dampu Awang, maka Buyut Anyung Brata mencari akal, lalu Nyi Mas Junti dibawa naik ke ujung/pucuk pohon Gebang yang daunnya lebar menyerupai kipas, kemudian Nyi Mas Junti dibungkus dengan daun Gebang yang paling ujung sehingga tidak kelihatan.



Dengan peristiwa itu, maka pedukuhan tersebut diberi nama Pedukuhan Ujunggebang, Ujung = pucuk, Gebang = daun pohon Gebang yang lebar bertangkai seperti kipas. Kini Pedukuhan Ujung Gebang menjadi Desa Ujunggebang.

Ki Dampu Awang dating ke Pedukuhan Ujunggebang, namun terkena pengaruh ilmu gaib yang dipasang oleh Ki Sekh Benthong, sehingga di mata Ki Dampu Awang bukan Pedukuhan yang nampak, namun hutan belantara Alas Wali Surat. Ki Dampu Awang naik perahu lagi terus terbang ke angkasa ke arah barat daya, namun taak ada tanda-tanda Nyi Mas Junti berada, terus diulang bolak-balik sampai sepuluh kali (balen) karena lelah dan putus asa Ki Dampu Awang duduk merenung di dekat parit/kalen, tempat itu diberi nama Kalen Sepuluh. Kalen = Parit, Sepuluh = bolak-balik (balen 10 kali).

Ki Dampu Awang didatangi Ki Sekh Benthong untuk memberitahu bahwa Nyi Mas Junti/Nyi Mas Pandan Sari bukan jodohnya, dan jodohnya Ki Dampu Awang nanti ketemu di Trusmi, sebaiknya engkau segera pergi ke Trusmi, lalu aki tua itu hilang. Ki Dampu Awang terperanjat karena belum sempat bertanya siapa bakal jodohnya itu. Ki Dampu Awang segera meninggalkan tempat Kalen Sepuluh menuju Trusmi.

Kepergiannya Ki Dampu Awang, Nyi Mas Junti/Nyi Mas Pandan Sari yang dibungkus daun Gebang paling ujung itu dilepaskan, lalu menikah dengan Buyut Anyung Brata menjadi istri kedua.

Di Pedukuhan Buyut Anyung Brata dibantu para kerabatnya membuat mesjid deengan Pengimbaran bergambar Banas Pati yang mengandung filosofi: ilmu Ma’rifat tentang hidup di alam fana kita akan memasuki alam Baso/kelanggengan.

Ki Gawul dan Ki Samtami bertugas sebagai keamanan di pedukuhan Ujunggebang. Ki Gawul bertugas jaga malam mengelilingi desa dengan naik kuda dan pos jaga di Wangan Jaga Dalu/perbatasan Ujunggebang-Desa Bunder, Ki Samtami bertugas jaga siang dengan berkuda mengelilingi desa dan pos jaga di sungai Jaga Siang (sebelah timur Desa Ujunggebang).

Mereka kerja tanpa pamrih, oleh karena itu sebagai rasa terima kasih, masyarakat Ujunggebang apabila lewat di jaga siang dan jaga dalu memberi sedekah, melempar uang, kue atau makanan lainnya sampai sekarang masih dilaksanakan.

Ki Gawul juga berjasa, karena bisa membendung (Nambak) Kedung Paren yang sangat curam/yang sulit dilewati, oleh masyarakat yang akan menuju Situs Buyut Murti/Makam Kidul, maka Ki Gawul disebut Ki Tambak.

Buyut Anyung Brata setelah menikah dengan Nyi Mas Pandan Sari/Nyi Mas Junti membuat pesawahan di blok Banyu Kuning  ± 1 ha, dibantu Kurung/orang dari desa Wot Galih. Nyi Mas Kejaksan gugut karena dia sebagai istri tua cuma ½ ha, di tanah Si Brekat. Kemudian Buyut Anyung Brata merenung sambil membuat kitiran di blok Ki Penggung, dengan kesaktiannya, bila Kitiran diterpa angin yang kencang terus berbunyi icik-icik jegur padi yang telah dipanen di tanah Si Brekat itu berbuah lagi, terus dipanen berbuah lagi seterusnya. Waktu itu yang membantu menuai padi orang Gunung Sari, karena kesal panennya tidak selesai-selesai selalu berbuah terus, oleh orang Gunung sari sawah itu dibakar supaya cepat habis. Kini sawah itu tidak seperti yang dulu biola dipanen sekali selesai..

Setelah usia senja Buyut Anyung Brata wafat, atas jasa beliau sebagai Bayangkari Keraton Pakungwati, dan untuk mempererat hubungan antara kawula dan gusti, Buyut Anyung Brata dimakamkan di komplek Makam Sunan Gunung Jati di sebelah barat (blok Kemungkuran). Sejak itu sampai sekarang masyarakat Desa Ujunggebang setiap habis panen dan setiap bulan Maulud berziarah ke Astana Gunung Jati dan Makam Buyut Anyung Brata/Ki Gede Ujunggebang.

Nyi Mas Kejaksan setelah wafat dimakamkan di Desa Ujunggebang, begitu juga Nyi Mas Pandan Sari/Nyi Mas Junti setelah wafat dimakamkan di Desa Ujunggebang. Oleh karena itu setiap acara Mapag Sri dan Unjungan, masyarakat dari Desa Junti Kedokan, Junti Kebon, Junti Wedhen dan Junti Nyungat selalu dating berziarah di Makam Nyi Mas Junti yang berada di Desa Ujunggebang.

Makam Nyi Mas Kejaksan dan Nyi Mas Junti dipelihara oleh abdinya yang setia yaitu Buyut Jembar sampai dengan keturunannya yaitu sebagai juru kunci sampai sekarang.

Adapun Ki Samtani setelah wafat dimakamkan di Situs Ki Bogo yang letaknya di tengah Desa Ujunggebang, sedangkan Ki Gawul setelah wafat dimakamkan di pojok sebelah tenggara Desa Ujunggebang di dekat Kedsung Paren yang ditambak olehnya, dan masyarakat Ujunggebang menyebutnya Situs Ki Tambak.

Peninggalan Sejarah :
1.     Cungkup Nyi Mas Kejaksan    12.    Situs Buyut Murti/Makam Kidul
2.    Cungkup Nyi Mas Junti    13.    Situs Ki Penggung
3.    Bumi Keranginan    14.    Balong
4.    Bumi Kerayunan    15.    Sumuran
5.    Pendopo Buyut Ujunggebang    16.    Sumur Satana
6.     Masjid Banas Pati    17.    Makam Gathu
7.    Situs Nyi Waja    18.    Makam Dawa
8.    Petapan    19.    Sawah Si Brekat (Sri Berkah)
9.    Kalen Sepuluh    20    Sawah Banyu Kuning
10.    Situs Ki Bogo    21.    Sawah Petajenan
11. Situs Ki Tambak    22.    Sawah Pelumbungan

    Adat yang masih melekat
1.    Sedekah Bumi    19.    Nyalini Klambu
2.    Unjungan    20.    Nyalini Makam
3.    Mapag Sri    21.    Nyurtanah
4.    Teka Tamba    22.    Nelung Dina
5    Tandur Pelumbungan    23.    Mitung Dina
6.    Tandur Petajenan    24.    Matang Puluh
7.    Nrukah    25.    Nyatus
8.    Petapan    26.    Mendhak
9.    Seba astana – Trusmi    27.    Nyewu
10.    Mapag tanggal    28.    Lamaran
11.    Ngunjung Wulanan    29.    Memitu
12.    Bubur Sura    30.    Khitanan
13.    Ngapem    31.    Penganten Sunat
14.    Maleman    32.    Nglangkahi
15.    Mbobot    33.    Rasulan
16.    Ngukur    34.    Geyong
17.    Ngapit    35.    Mudun Lemah
18.    Mayu Buyut

    Benda Cagar Budaya
1.    Hutan Lindung Wali Surat
2.    Fosil Batu Nyi Waja 16 buah
3.    Pengibaran Banas Pati
4.    Lumbung Pedaringan Kebek
5.    Lumbung Silara Denok
6.    Pecacahan (perangkat tenun dan alat rumah tangga)
7.    Kantong Baruba
8.    Tetekan Sirnabaya
9.    Bendel/Bareng Simangangkang
10.    Lukisan Rama , Shinta, Laksamana
11.    Tunggak Jati
12.    Batu-batuan yang tersebar di :
-    Tegal Setra
-    Tegal Pandes
-    Tegal Nyi Batu


Organisasi Kesenian
1.    Sanggar Mekar Budaya    8.    Kuda Depok
2.    Wayang Kulit    9.    Buroq
3.    topeng    10.    Organ Tunggal
4.    Sandiwara    11.    Rebana
5.    Macapat Cirebon    12.    Genjring Putri
6.    Jaran Kepang    13.    Genjring Ketipling
7.    Singa Depok    14.    Tarling Klasik
        15.    Reyog.

    Juru Kunci Situs Buyut Ujunggebang :
1.    Buyut jembar
2.    Buyut Sam
3.    Buyut Naru
4.    Buyut linten
5.    Buyut Mureh
6.    Buyut Ipen
7.    Buyut Narsa

Kunci Tua :        Kunci Nom :
8.    Buyut Jarmi        Buyut Arti
9.    Buyut Nawan        Buyut Warsa
10.    Buyut Narsa        Buyut Warseni
11.    Buyut Karniyah        Buyut Tajem
12.    Buyut Warseni        Buyut Warsana
13.    Kunci Nurwitem/Casma
14.    Kunci Karim
15.    Kunci Kasmita
16.    Kunci Wasja
17.    Kunci Narpan

    Nama-Nama Kuwu Ujunggebang Kab Cirebon yang diketahui dianataranya :

1.    Demang Baskara    :          – 1799 
2.    Kuwu Rantisem    : 1799 – 1815
3.    Kuwu Sinjran    : 1815 – 1823
4.    Kuwu Rasijan    : 1823 – 1832
5.     Kuwu Karmen    : 1832 – 1843
6.    Kuwu Tap    : 1843 – 1847
7.    Kuwu Kasam    : 1847 – 1867
8.    Kuwu Nasitem    : 1867 – 1874
9.    Kuwu Nasipan    : 1874 – 1880
10    Kuwu Wanti    : 1880 – 1890
11.    Kuwu Wanakriya    : 1890 – 1906
12.    Kuwu Jarih    : 1906 – 1909
13.    Kuwu Latiyem    : 1909 – 1914
14.    Kuwu Jatmina    :  7 bulan …..
15.    Kuwu Sarmina    : 1915 – 1919
16.    kuwu Jaelani    : 1919 – 1924
17.    Kuwu Latiyem    : 1924 – 1948
18.    kuwu Warnita    : 1948 – 1954
19.    Kuwu Sukami    : 1954 – 1958
20.    Kliwon Kasdiyah (Pjs)    : 1958 – 1959
21.    Kuwu Kasmita    : 1959 – 1966
22.    Ading (Pjs)    : 1966 – 1968
23.    Kuwu Rumita    : 1968 – 1987
24.    Waryuni (Pjs)     : 3 bulan ……
25.    Sunita (Pjs)    : 1987 – 1988
26.    Kuwu Kurman    : 1988 – 1996
27.    Nasika (Pjs)    : 1997 – 1999
28.    Tarmadi (Pjs)     : 2000 – 2001
29    Kuwu Drs. Tarudin    : 2001 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA TUK

SEJARAH ASAL USUL DESA TUK KABUPATEN CIREBON . Kalau kita tengok pada masa yang telah silam sebelum adanya Keraton Pakungwati, maka kita akan teringat sebuah nama Desa yang sangat harum pada masa itu yaitu Desa Mertasinga yang letaknya disebelah Utara kira-kira 3,5 Km dari Amparan Jati atau lebih populernya Astana Gunung Jati disisi kiri dari sungai Bondet yang berada di wilayah Kecamatan Cirebon Utara, disitu terdapat  Benda Cagar Budaya (BCB) Lawang Gede atau Lawang Si Blawong. Dahulu adalah merupakan bekas peninggalan nama Kerajaan Singapura, adapun batas-batasnya dapat diperkirakan sebelah utara dengan Nagari Surantaka yang sekarang berada di wilayah Kapetakan di sebelah selatan dengan Nagari Wanagiri yang sekarang Kecamatan Cirebon Selatan dan dengan Nagari Japura yang menjadi raja di Singapura yaitu Ki Gedheng Sura Wijaya  Sakti, setelah kakeknya meninggal, Pangeran Cakra Buana tidak bersedia menggantikan kedudukannya, Pangeran Cakra Buana mendapatkan warisan harta bendanya, lalu ia gunakan untuk membangun sebuah Istana yang diberi nama Pakungwati ( Keraton Kasepuhan ) nama tersebut diambil dari nama putri kesayangannya.

Istana Keraton Pakungwati mengalami perkembangan yang sangat pesat disegala bidang, baik di bidang ekonomi, sosial budaya dan menjalin hubungan kerja sama dengan Negara-negara lain seperti Cina, India, Mesir, antara tahun 1445-1462 Cerbon mengalami kemajuan yang sangat luar biasa, karena dasar-dasar dalam menjalankan roda pemerintahan yaitu ahklaq aqidah Islam, yang ditanamkan oleh Pangeran Cakra Buana dan Sunan Gunung Jati sebagai penerusnya, sehingga Sunan Gunung ditetapkan sebagai Penatagama.

Pada masa pemerintahan Sultan Sepuh I terjadi musim kemarau yang sangat panjang sehingga balong / kolam yang berada di dalam Keraton tersebut mengalami kekeringan bahkan sampai berimbas pada masyarakat Cerbon. Untuk mengatasi hal itu para abdi dalam dikumpulkan untuk diadakan musyawarah guna mencari suatu pemecahan untuk mengatasi kekeringan yang semakin berkepanjangan, karena air merupakan sumber kebutuhan yang sangat pokok.

Dari hasil musyawarah dan mufakat tersebut dapat diambil suatu keputusan untuk mencari sumber mata air yang ada di wilayah Cerbon karena ia yakin di bumi Cerbon ini banyak kekayaan alam yang berlimpah ruah asalkan kita sendiri mau berusaha tanpa mengenal menyerah.

Hasil dari keputusan masyarakat tersebut maka Sultan Sepuh menugaskan kepada H. Mancur Jaya dipercaya sebagai sesepuh dan dibantu oleh  beberapa rekannya, tugas yang diembannya ia terima dengan penuh rasa tanggung jawab , mereka  tanpa mengenal lelah kesana kemari mencari sumber mata air akan tetapi belum juga ditemukan, maka mereka memohon kepada yang maha kuasa agar diberikan suatu petunjuk untuk mendapatkan sumber mata air lalu dengan jalan melaksanakan sholat, akan tetapi untuk mengambil air wudlu pun setetes tidak ada air, maka atas ridhonya, tongkat yang dibawa oleh H. Mancur ditancapkan ke tanah maka keluarlah air yang sangat deras (sumber mata air = Tuk). Sehingga seluruh sumur  yang berada di sekelilingnya penuh dengan air, maka seluruh rakyat berduyun-duyun  untuk mengambil air sebagai kebutuhan sehari-hari. H. Mancur selanjutnya membuat parit mengalirkan air dari Tuk ke Keraton Pakungwati, dengan demikian kebutuhan air untuk Keraton tersebut bisa tercukupi.

Akan tetapi banyak orang-orang Cina yang mengambil air di tuk tersebut, disitu terjadi kesalahpahaman antara masayarakat setempat dengan orang-orang Cina sehingga banyak orang Cina yang dibunuh / disembelih dengan pakai landasan kayu, sehingga air yang mengalir dari tuk sampai ke Keraton Pakungwati berwarna merah. Sedangkan kayu untuk landasan tersebut dinamakan perbatang yang artinya kayu penuh dengan darah. Kayu tersebut dibungkus dengan kain putih lalu diarak, sampai sekarang masih diperingati setiap tanggal 19-20 (Rabiul Awal) dengan diiringi do’a-do’a dan marhaban.

H. Mancur Jaya setelah mendapatkan sumber mata air terpikat pada seorang gadis yang bernama nyai Gedheng Tuk. Daerah tempat keluarnya sumber mata air/tuk sekarang diabaikan menjadi sebuah nama Desa Tuk. Dulu Desa Tuk  masuk dalam wilayah Kecamatan Cirebon Barat, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Kedawung, karena Kecamatan Cirebon Barat tahun 2006 dimekarkan menjadi 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Kedawung dan Kecamatan Tengah Tani.

Keberadaan balong tuk tersebut kini masih terawat dengan baik, yang merawat balong tersebut sebagai juru kunci Bapak R. Supardjo beliau sangat peduli dengan Benda Cagar Budaya, bahkan di balong tersebut tertulis UU Benda Cagar Budaya No. 5 tahun 1992. Di balong Tuk tersebut walaupun kemarau yang sangat panjang tetapi sumber mata airnya tak pernah habis walaupun disampingnya terjadi kekeringan, jumlah penduduk Desa Tuk kurang lebih 6.000 Jiwa terdiri dari 7 Rw 28 Rt, sekolah dan sarana peribadahannya cukup memadai.

Nama-nama Kuwu Tuk Kab Cirebon  yang dapat diketahui :

1.    Minut   
2.    Tarbi
3.    Badawi
4.    Dulkamid
5.    Sabilah
6.    Samika 2 priode
7.    Suherman

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA TONJONG

SEJARAH ASAL USUL BERDIRINYA DESA TONJONG KAB. CIREBON . Dahulu, tersebutlah sebuah pedukuhan yang bernama Bantar Panjang dengan tokoh adatnya Ki Ariya Pujakakesuma, dengan didampingi bawahannya yang bernama Ariya Pujakadewa. Ki Arya Pujakakesuma membicarakan perihal puterinya yang bernama Nyi Dewi Pujaka Pamestri yang akan dilamar oleh orang kesatria yaitu Ariya Gondala dan Ariya Gondali dari daerah Luragung murid Ki Lurah Agung. Tetapi lamaran kedua kesatria Luragung itu ditolaknya secara halus.

Tolakan dari pihak Bantar Panjang itu membuat mereka marah dan menantang untuk bertarung. Mendapat tantangan tersebut Ariya Pujakadewa bangkit amarahnya, kemudian dengan spontan merangsek dan menghajar kedua kesatria itu. Maka pertarungan sengitpun tidak dapat terelakan, mereka sama-sama mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Beberapa waktu kemudian nampak kedua murid dari Lurah Agung mulai terdesak dan lari meninggalkan pedukuhan Bantar Panjang.

Ki Arya Pujakakesuma selanjutnya mengadakan sayembara, barang siapa yang dapat mengalahkan Ariya Pujakadewa akan dinikahkan dengan putrinya Nyi Dewi Pamestri. Di Padepokan Pasir Kokol, Banyak Ngampar yang dipimpin oleh Ki Gedeng Jengkelok didampingi Nyi Dewi Kenangasari istrinya mendapati anaknya Sutajaya Telon sedang bermuram durja. Sutajaya Telon berkeinginan mempersunting putri Bantar Panjang yang sedang disayembarakan. Melihat gelagat itu Banyak Ngampar akhirnya mengijinkan anaknya pergi mengadu nasib untuk berjodoh dengan gadis yang sedang diperebutkan itu.

Sutajaya Telon adalah murid Mbah Kuwu Cakrabuana, dibekali sebuah pedang siangkup oleh ayahandanya agar dalam pertarungan nanti mendapat keunggulan. Sayembarapun digelar dengan begitu meriah, para raja dan kesatria dari berbagai penjuru negeri berdatangan ke Bantar Panjang. Mereka berebut untuk mempersunting Nyi Dewi Pamestri yang elok rupawan. Sutajaya Telon menjadi peserta sayembara puteri Bantar Panjang. Beberpa peserta mulai berguguran menghadapi kesaktian Ariya Pujaka Dewa.

Sutajaya Telon yang mendapat giliran terakhir kemudian memasuki arena sayembara dan langsung bertarung dengan jagoan dari Bantar Panjang tersebut. Keduanya mengeluarkan jurus-jurus dan ilmu kesaktian andalannya. Pertarungan keduanya cukup sengit dan memakan waktu lama. Kelelahan begitu nampak dari kedua pendekar itu, dan keduanya cukup berimbang. Pada jurus pamungkas Sutajaya Telon mengeluarkan pedang siangkup dan kemudian dihunuskan ke Ariya Pujaka Dewa. Sesaat tubuhnya terjerembab rubuh, dan takluk di tangan Sutajaya Telon.

Kemenangan Sutajaya Telon mendapat sambutan hangat dari Nyi Dewi Pujaka Pamestri yang dari tadi begitu mengagumi ketampanan calon suaminya itu. Kemudian sesuai dengan ketentuan sayembara akhirnya Sutajaya Telon dinikahkan  dengan Putri Bantar Panjang dengan cara Islam.

Mendengar berita Nyi Dewi Pujaka Pamestri dipersunting Sutajaya Telon, Ariya Gondfala dan Ariya Gondali yang berada di tengah hutan belantara menjadi geram dan berniat untuk merebutnya. Keduanya lantas kembali ke Bantar Panjang dan terjadilah pertarungan antara Sutajaya Telon dengan kedua kesatria dari Luragung itu. Dengan pedang siangkupnya Sutajaya Telon melakukan perlawanan untuk mempertahankan Nyi Dewi Pujaka Pamestri dari musuhnya. Sabetan pedang siangkup mengeluarkan bara api yang sangat panas hingga kedua kesatria itu limbung dan lari “totolonjong” (pontang-panting) kemudian menyerah kalah kepada Sutajaya Telon.

Ariya Gondala dan Ariya Gondali setelah takluk selanjutnya memeluk agama Islam dan diperintah oleh Sutajaya Telon agar membuka hutan di pedukuhan tersebut. Dari kata totolonjong itulah kemudian lahir nama Pedukuhan Tonjong dan sekarang menjadi Desa Tonjong. Pada pemerintahan sekarang Desa Tonjong berada di wilayah Kecamatan Pesaleman.

Nama-nama Kepala Desa Tonjong Kab Cirebon yang diketahui diantaranya :

1.    Newong    : 1937 – 1941
2.    Sastrawijaya    : 1941 – 1943
3.    Maja    : 1943 – 1945
4.    Madcair    : 1945 – 1947
5.    Moch. Kasan    : 1947 – 1964
6.    Irtajaya    : 1964 – 1987
7.    Solehudin    : 1987 – 1995
8.    Taryono    : 1995 – 2003
9.    Dudung    : 2003 - …….

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA TERSANA KAB CIREBON

SEJARAH ASAL USUL BERDIRINYA DESA TERSANA KABUPATEN CIREBON . Di sekitar abad ke 16, tersebutlah sebuah pondok pesantren yang berada di wilayah Cirebon bagian timur, dengan nama pesantren Pulau Putih. Pesantren tersebut dipimpin oleh seorang Kyai bernama Kyai Bagal Budigal salah seorang murid Pangeran Cakrabuana. Beliau ditugaskan oleh gurunya untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Pulau Putih. Saat itu Kyai Bagal Budigal sedang gundah batinnya karena putranya yang bernama Jaka Utama sudah sekian lama pergi entah kemana. Penyesalan dan kegundahan Kyai Bagal Budigal akibat kemarahannya kepada Jaka Utama membuat suasana pondok yang dulu begitu hangat, kini sepi tanpa kehadiranbuah hatinya. Keadaan dirinya diungkapkan kepada putrinya yang lain, yang juga merupakan saudara tua dari Jaka Utama.

Kepergian Jaka Utama berawal dari kemarahan Kyai Bagal Budigal yang tidak terima saat bertanya kepada Jaka Utama apa tujuan hidup setelah kelak beranjak dewasa. Sementara saudara-saudaranya saat ditanya ada yang menjawab bercita-cita menjadi petani, nelayan bahkan kyai. Sedangkan Jaka Utama berkeinginan menjadi penguasa di Selamerah (Gebang). Bagi ayahanda keinginan itu sangatlah tidak masuk akal, sebab keluarga mereka berasal dari keluarga yang sangat miskin, tidak patut dan dianggap mengada-ada. Jika punya keinginan seperti itu . Akan tetapi Jaka Utama tidak peduli, baginya hal itu keinginan yang tidak terbantahkan, hingga akhirnya terjadilah pengusiran Jaka Utama oleh Kyai Bagal Budigal  yang juga ayahanda yang selama ini dihormatinya sebagai salah seorang yang menjadi penyebar agama Islam di Cirebon Timur.
Dalam kemurungan batinnya beliau memanggil putra-putranya yang bernama Juwarsa dan Juantara. Mereka ditugaskan untuk mencari Jaka Utama sebab ayahanda Kyai Bagal Budigal begitu merindukan kehadirannya.

Kedua putranya itu pergi meninggalkan pondok pesantren Pulau Putih untuk mencari dimana gerangan adiknya Jaka Utama berada. Sudah sekian lama pencarian itu dilakukan hingga sampailah di tanah Pejodangan (Malaka). Kedua putra Kyai Bagal Budigal itu tersentak kaget bercampur gembira sebab adiknya yang selama ini hilang ternyata berada di wilayah itu. Kemudian mereka segera menghampirinya untuk mengajak adiknya pulang ke Pulau Putih

Setelah kedatangan saudara-saudaranya dan mengajaknya pulang, Jaka Utama malah lari pontang-pantingmenjauh dari saudara-saudaranya. Maka terjadilah aksi kejar-kejaran antara Jaka Utama dengan Juwarsa Juantara, dan pengejaran itu berakhir petaka, Jaka Utama terjatuh dan tak sadarkan diri. Melihat Jaka Utama pingsan betapa sedihnya kedua saudaranya itu, kemudian mereka merawatnya dengan cara memandikan tubuhnya. Mereka berniat akan memboyongnyauntuk dibawa ke Pulau Putih. Tetapi alangkah kagetnya kedua saudara Jaka utama itu, sebab Jaka Utama tiba-tiba saja bangkit dari pangkuan Juwarsa Juantara dan lari menjauh hingga menghilang dari pandangan keduanya.

Di Pulau Putih Kyai Bagal Budigal dan putrinya Jakarsia begitu menghawatirkan saudara-saudaranya yang belum juga kembali ke pondok pesantren Pulau Putih. Kyai Bagal Budigal bersama putrinya berniat meninggalkan pondok pesantren untuk mencari putra-putranya dan mengharap perubahan hidupnya yang lebih baik, karena sekian lama terpuruk dalam kemiskinan.
Dengan marah yang meledak ledak kemudian tajug dihancurkan dan umpak tajug (tempat imam sholat) dibaledogkeun/Sunda (di lempar). Oleh karena itu, maka di daearh itu disebutlah Umpak Balagedog. Sedangkan penamaan Desa Tersana berasal dari bahasa Cirebon, …wis kersa Gusti kang Maha kuasa iki umpak  ….”. Dari sebuah umpatan murid Mbah Kuwu Cerbon itulah kata “kersa” dilafalkan menjadi Tersana.

Sementyara itu, hampir semua orang sedang membicarakan tentang seorang penguasa di Selamerahyang sangat dermawan. Penduduk sekitarnya begitu mengaguminya, Karena penguasa itu meskipun kaya raya tetapi selalu membagi-bagikan hartanya bagi yang membutuhkan. Kabar itu sampai juga ke Kyai Bagal Budigal dan Jakarsiah. Rasa penasaran dan kemiskinan yang menderanya membuat mereka terpaksa melangkahkan kakinya untuk menuju daerah Selamerah dimana penguasa dermawan itu berada. Sesampainya disana keduanya tertahan karena pihak penjaga tidak megijinkan masuk ke kediaman majikannya. Mereka dianggapnya orang asing yang dituduh sebagai mata-mata bangsa Belanda. Tetapi keduanya memaksa dan akhirnya berhasil masuk ke kediaman penguasa Selamerah itu dan mereka pun bertemu dengan penguasa dermawaan itu.

Betapa kagetnya Kyai Bagal Budigal dan putrinya sebab orang yang berada di hadapannya itu adalah orang yang selama ini dicarinya yaitu Jaka Utama. Adapun Jaka Utama meskipun dirinya pernah diusir oleh ayahandaanya tetapi berkat didikan agama sewaktu di pesantren Pulau Putih beliau tetap mengakuinya baahwa orang yang layaknya seperti pengemis itu adalah ayahanda Kyai Bagal Budigal dan saudaranya Jakarsiah.

Setelah tahu bahwa kedua orang yang ada di hadapannya adalah ayah dan adiknya, didekatinya dan dirangkulnya. Ketiga anak manusia itu bertangisan melepaskan rasa ribdunya yang tak tertahankan. Kem,udian jaka Utama meminta kepada ayah dan adiknya untuk tinggaal bersama di Selamerah. Mereka hidup bahagia di Selamerah, dan Jaka Utama menikah dengan Surtiwati, dikaruniai dua anak yaitu Dewi Amirah dan Raden Cipta Rasa (Ki Kadut Cigobang).

Pada pemerintahan sekarang Desa Tersana berada di wilayah Kecamatan Pabedilan.

Nama-nama Kepala Desa Tersana yang diketahui diantaranya :

1.    Natadipura    : 1901 – 1943
2.    Nurkasan    : ……………
3.    Epon    :           - 1939
4.    Marsad    : 1939 – 1940
5.    sastrawinata    : 1940 – 1955
6.    M Kadir Syarif    : 1955 – 1980
7.    Edi (Pjs)     : 1980 – 1987
8.    Carsa    : 1987 – 1996
9.    Ucu Sugema (Pjs)    : 1996 – 2000
10.    Maman Nuriman    : 2000 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA SLANGIT

ASAL USUL SEJARAH DESA SLANGIT KABUPATEN CIREBON . Slangit termasuk wilayah Desa Selangit Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon, masyarakatnya bermata pencaharian kebanyakan menekuni di bidang pertanian, peternakan, wiraswasta dan ada pula pegawai.

Pada w2aktu dulu, Ki Kuwu Cirebon yang berkeinginan membangun pedukuhan bagian barat, membuka hutan yang masih angker dihuni siluman dan binatang buas.

Dengan kedatangan ki Kuwu Cirebon hutan tersebut jadilah pedukuhan yang tenang daan nyaman untuk suatu pemukiman walaupun kekurangan sumber air.

Disamping digunakan untuk pemukiman, Ki Kuwu membuka hutan untuk lahan pertanian. Sehari-hari Ki Kuwu bercocok tanam, menanam padi sampai ke sebelah barat, sekarang lahan pertanian itu disebutnya Desa Jungjang. Untuk membantu kegiatan sehari-harinya, Ki Kuwu dibantu oleh seorang bujangan bernama Jaka Dolog. Untuk keperluan bermusyawarah dan istirahat dibuatlah sebuah bale, namanya Ki wasiat.

Cara penggarapan sawahnya menggunakan weluku (bajak) yang ditarik Kebo Dongkol nama kerbaunya, kandaangnyaa sekarang dinamakan kandang dalem, jembatan yang dilewati kerbau Ki Kuwu dinamakan Wot Dalem, dan tempat untuk mencari makan kerbaunyaa dinamakan Tegal Pangonan.

Pada suatu ketika Ki Kuwu kedatangan seorang pemuda yang masih keturunan Galuh bernama Ki Bandang Samaran. Maksud kedatangannya adalah ingin berguru agama Islam dan ilmu kanuragan. Kedatangannya itu secara kebetulan sekali apa yang dimaksudkan dan guru yang dicarinya itu kini telah ada dihadapannya. Setelah lama Ki bandang Samaran berguru kepada Ki Kuwu, kemudian Ki Kuwu memberikan kepercayaan kepada Ki Bandang Samaran untuk membimbing masyarakat di pedukuhan itu. Yang kemudian Ki Bandang Samaran di pedukuhan itu dikenal dengan sebutan Ki Gede Limas.

Ki Kuwu teringat akan barang miliknya, yaitu sepotong kayu pemberian Ki Danuwarsi, kemudian kayu itu ditancapkan di pekarangan tempat tinggalnya. Tak diduga olehnya, potongan kayu itu tumbuh pohon yang namanyaa pohon slangit. Dari nama pohon itulah, maka pedukuhan tersebut disebut pedukuhan Slangit dan berkembang menjadi Desa Slangit. Kini petilasan Ki Kuwu berbentuk makam dan banyak dikunjungi berbagai lapisan masyarakat. Terdapat pula lahan perbukitan yang dinamakan Gunung Timbang. Sekali waktu di Gunung Timbang muncul benda yang terbuat dari emas, benda tersebut diyakini oleh penduduk adalah milik Ki Kuwu. oleh karenanya penduduk disitu melarang untuk mengambilnya.

Di Desa Slangit terkenal dengan tari topengnya, yang bisa mengharumkan nama bangsa, karena telah menjelajah ke manca negara. Tokoh penari topeng Slangit adalah Bapak Sujana (alm.).

Nama-nama Kuwu Slangit yang diketahui diantaranya:

1.    Samad    : 1958 – 1971
2.    Aman    : 1971 – 1979
3.    Sukawi    : 1979 – 1995
4.    Anali    : 1995 – 2000
5.    Sunadi     : 2000 – 2002
6.    Sauji    : 2002 – sekarang

Baca Selengkapnya »

ASAL USUL SEJARAH DESA SINDANG MEKAR

ASAL USUL SEJARAH DESA SINDANG MEKAR KABUPATEN CIREBON . Desa Sindang Mekar adalah salah satu Desa di Kecamatan Dukupuntang (pemekaran Kecamatan Sumber) Kabupaten Cirebon. Desa Sindang Mekar yang saat ini mempunyai jumlah penduduk 6.000 jiwa semula merupakan cantilan dari Desa Sindangjawa. Pada waktu itu penduduk Desa Sindangjawa merupakan sangat padat untuk ukuran sebuah desa sehingga timbul pemikiran pemekaran wilayah.

Pada tahun 1982, untuk merealisasikan pemekaran wilayah tersebut diadakan musyawarah antara tokoh masyarakat dengan aparat pemerintah Desa Sindangjawa. Dari musyawarah tersebut disepakati bahwa wilayah Desa Sindangjawa dibagi menjadi dua desa yaitu Desa Sindangjawa dan Desa Sindang Mekar.

Adapun nama Desa Sindang Mekar itu sendiri terdiri atas dua suku kata yaitu Sindang dan Mekar. Sindang diambil dari nama sesepuh atau tokoh masyarakat yaitu Nyai Sindang. Dan Mekar mengandung pengertian bunga yang baru mekar atau tumbuh dan siapapun orang yang menghampirinya maka ia akan menikmati aroma harum wangi bunga tersebut.Desa Sindang Mekar terdiri dari lima blok yaitu Keradenan, Pamijen, Awilarang, Karang Asem dan Kadu Tilu yang masing-masingmempunyai latar belakang sejarah , budaya dan tradisi yang khas.

Salah satu dari blok tersebut yaitu Keradenan adalah pusat dari Desa Sindang Mekar. Pada mulanya blok ini akan dijadikan sebuah desa, akan tetapi atas kesepakatan (musyawarah tokoh masyarakat dan aparat desa akhirnya hanya menjadi Dusun (Blok) saja.

Nama Keradenan itu sendiri sudah dikenal sejak zaman pendudukan Jepang. Keradenan itu sendiri diambil dari nama tokoh atau orang yang sangat dihormati dan disegani kala itu, yang bernama Ratu Wahyuningrat putri dari Elang Sabit Susilabrata. Dari keturunan merekalah akhirnya Raden Supandi terpilih menjadi Kuwu pertama hasil pemilihan rakyat Desa Sindang Mekar.

Blok Keradenan adalah merupakan pusat Desa Sindang Mekar terkenal akan kerajinan meubeler yang mampu menembus pasaran regional (bandung, Jakarta, Medan dan Surabaya) bahkan mampu menembus pasaran mancanegara. Keradenan terkenal pula dengan mayarakatnya yang sangat religius dan mempertahankan tradisi santri salaf serta masyarakat madani, maka tak berlebihan pula akhirnya Blok Keradenan ini banyak melahirkan Kyai (Kyai Tabroni, K.H. Abdul Kohar, Kyai Hambali) yang mana nama tersebutr sangat lekat di hati masyarakat.

Adapun batas-batas wilayah Desa Sindang Mekar Kec. Dukupuntang Kab Cirebon adalah sebagai berikut :

1.    Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cikeduk dan Desa Warugede serta Desa Cengkoak.
2.    Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sindangjawa
3.    Sebelah utara berbatasan dengan Desa Warukawung
4.    Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karangwangi.

Nama-nama Kepala Desa Sindang Mekar yang diketahui :

1.    Basri Rasawinata (Pjs)    : 1982 – 1986
2.    R. Supandi     : 1986 – 1994
3.    Darpan (Pjs)    : 1994 – 1995
4.    R. Supandi (Pjs)    : 1995 – 2003
5.    Ahmad Yani (Pjs)    : 2003 – 2005
6.    Drs. Misja Suharjo    : 2005 – sekarang

Baca Selengkapnya »

ASAL USUL SEJARAH DESA SEMPLO

ASAL USUL SEJARAH DESA SEMPLO KABUPATEN CIREBON . Syahdan dulu kala hidup dua orang suami istri yang sakti mandraguna dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera di suatu pedukuhan di tengah hutan belantara di wilayah kerajaan Galuh, yang menganut agama Hindu Budha. Dalam kehidupannya yang sederhana dan bersahaja keduamya memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Ki Melasi alias Raden Pekok, yang juga mempunyai ilmu yang mumpuni daan tak terkalahkan oleh siapapun bahkan kesaktiannya diakui oleh Ki Geden seantero Kerajaan Galuh.

Pada mas kecilnya Raden Pekok adalah seorang anak yang bandel dan pemalas namun cerdas dan kecerdasannya melampaui anak seusianya. Pada suatu hari Raden Pekok disuruh meladang oleh kedua orang tuanya untuk membantu pekerjaannya, namun karena kemalasan dan kebandelannya Raden Pekok tidak berangkat ke Ladang, tetapi hanya tiduran saja di kamarnya. Setiap kedua orang tuanya menyuruh ke Ladangdengan kebiasaannya Raden Pekok menuju kamarnya terus tiduran. Kelakuannya tersebut menimbulkan rasa jengkel dihati orang tuanya, dengan kata-kata yang keceplosan asbun (asal bunyi) orang tuanya mengumpat “dasar bocah semplo”.. Semplo pada kata umpatan orang tuanya itu tidak mempunyai makna, hanya pelampiasan ungkapan rasa jengkel. Kata-kata yang semacam itu misalnya “dasar kemplud”, “dasar kethek beluk, dst”.

Setelah dewasa dan sepeninggal kedua orang tuanya, Raden Pekok yang mewarisi pedukuhan tersebut, maka untuk mengenang kedua orang tuanya maka pedukuhan tersebut diberi nama Pedukuhan Semplo, sesuai dengan panggilan kesayangan serta kata-kata umpatan kedua orang tuanya. Sekarang Pedukuhan Semplo menjadi Desa Semplo Wilayah Kecamatan Gempol.

Dalam perjalanannya Raden Pekok banyak dikenal oleh para pemuda di seantero Galuh sebagai seorang yang mempunyai ilmu yang sakti mandraguna dan bahkan banyak diantaranya yang ingin berguru kepadanya, namun demikian tetap saja dengan kesehajaannya, beliau menganut falsafah “Mlarat ora Gegulat, Sugi ora Rerawat”.

Dikisahkan pula bahwa Raden Pekok mempunyai peliharaan binatang yang mukanya serupa dengan anjing tapi berbadan kera yang disebut Begog yang sangat setia mendampingi sang majikan kemanapun pergi. Karena amat setianya, pada saat Raden Pekok ditantang adu Kesaktian oleh salah seorang Ki Geden di sekitar wilayah pedukuhan Semplo, maka Begoglah yang menggantikan raden Pekok dan menyerupai persis ujud Rade Pekok. Dalam pergulatan antara hidup dan mati di sebuah pohon besar di hutan sebelah utara pedukuhan Semplo yang sekarang disebut Blok Gandok, dulunya masuk Pedukuhan Kedung Kambe wilayah Desa palimanan Timur, maka bersamaan dengan jatuhnya sang Begog tadi maka ranting besar pohon tersebut semplak atau patah dan Raden Pekok jelmaan Begog tersungkur dan mati, maka Raden Pekok hampir dinyatakan menyerah, namun begitu tahu bahwa Raden Pekok masih hidup dan mengetahui bahwa yang mati tersebut Cuma peliharaannya, maka tunduklah Ki Geden tadi dan mengakui kesaktian Raden Pekok dan menyerahklan tanah tersebut kepada Raden Pekok sebagai bukti pengakuan atas kesaktiannya.

Masa masuknya Islam

Raden Pekok , sebagaimana dikisahkan diatas adalah seorang penganut Hindu Budha yang mempunyai kesaktian yang mumpuni yang sulit ditaaklukaan, maka atas pertimbangan yang bijak Ki Kuwu Cirebon, mengirim utusan dua orang kesatria yang bernama Ki Ganda Maya dan Ki Tubagus Ahmad, alias Ki Abdul Latif, alias Ki Paseh ke Pedukuhan semplo yang membawa misi Islam. Dengan cara dan strategi da’wah yang disampaikan oleh keduanya, lambat laun Raden Pekok memeluk Islam dan berganti nama menjadi Kiyai Melasi, sebagai seorang yang bijak Kiyai Melasi tidak memaksakan pengikutnya untuk mengikuti jejaknya, karena menurutnya hal tersebut hak dari pengikutnya, maka terjadilah perpecahan diantara pengikut Ki Melasi menjadi 3 (tiga) kelompok:

1.    Kelompok yang kembali ke galuh karena ingin tetap pada pendirian dan mempertahankan agamanya.

2.    Ada yang tyetap tinggal di Pedukuhan Semplo karena tidak puas dengan keputusan Ki Melasi. Mereka melakukan pembangkangandengan cara tidak mau melaksanakan perintah agama Islam dan meninggalkan agama lama (abangan) yang dipimpin oleh Ki Dholim atau Ki Dalim.

3.    Kelompok Ki Kelir yang mengikuti jejak gurunya Ki Melasi dan menjadi pengikut setianya.

Dikisahkan bahwa untuk menyebarkan agama Islam sangatlah sulit, untuk mengajak sholatpun tidaklah segampang yang didak’wahkandengan ucapan, maka Ki Ganda Maya yang terkenal sangat sakti menunjukan kesaktiannya, melaksanakan sholat di dalam Gentong atau tempat air besar, maka yakinlah bahwa orang-orang Islam atau orang Cirebon mampu mengimbangi dan mengungguli kesaktian orang Galuh. Selanjutnya Pedukuhan Semplo dijadikan basis penyebaran Islam di wilayah sekitarnya.

Daftar Nama-nama Kuwu Semplo yang diketahui diantaranya:

1.    Tebok
2.    Atma
3.    Pura Atmaja (kakeknya Bapak Bupati Drs. Dedi Suoardi,MM).
4.    Pandi
5.    Madiya
6.    Sutara    : 1968 – 1986
7.    H. Nonoh Karyono    : 1986 – 1994
8.    Sagung Rudyanto    : 1994 – 2002
9.    Yuri Priyatna (Pjs)    : 2002 – 2003
10.    Suhardja, SH    : 2003 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA PURBAWINANGUN

SEJARAH ASAL USUL DESA PURBAWINANGUN KABUPATEN CIREBON . Pada perkembangan Agama Islam di Jawa Barat , pusat penyebarannya terdapat di Puser Bumi adalah kesekretariatan Dewan Wali Sanga, yang menjadi pemimpinnya ialah Syekh Syarif Hidayatullah. Tempat itu ada di Gunung Sembung Desa Astana Kecamatan Cirebon Utara sekarang.

Sunan Kalijaga adalah sekretaris Dewan Walisanga. Kalijaga merupakan nama jabatan, secara etimologis kalijaga terdiri dari dua kata yaitu kali dan jaga. Kali bermakna tulis, mengambil dari kata kalimat artinya tulisan, sedangkan jaga bermakna juru atau petugas, contohnya jaga malam artinya petugas keamanan pada malam hari. Dengan demikian maka Kalijaga artinya juru tulis atau juru surat, disebut pula sekretaris

Adalah seorang pemuda dari Demak yang bernama Pangeran Purbaya datang di Cirebon bermaksud ingin mendalami/berguru ilmu agama Islam kepada Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Jati. Pemuda itu diterima menjadi muridnya Syekh Syarif Hidayatullah. Setelah lama pemuda itu berguru, sampai pada waktu yang dianggap telah cukup dalam berguru, Pangeran Purbaya diberi tugas oleh Sang Guru untuk mendirikan sebuah pedukuhan (perkampungan) sambil menyebarkan agama Islam ke arah barat.

Maska berangkatlah Pangeran Purbaya ke arah barat dari Caruban. Setelah lama berjalan, sampailah Pangeran Purbaya di suatu daerah yang dianggap pantas untuk dijadikan sebuah pedukuhan (daerah itu masih berupa hutan belantara). Segeralah Pangeran Purbaya dibantu oleh beberapa anak buahnya untuk menebagng hutan tersebut. Tak lam kemudian berubahlah hutan itu menjadi sebuah pedukuhan dengan masyarakatnya yang telah memeluk agama Islam. Berkat siar Islam yang disampaikan oleh Pangeran Purbaya.

Pangeran Purbaya adalah salah seorang yang dikenal penuh kasih sayang serta suka menolong kepada sesama dengan hati yang tulus ikhlas tanpa pamrih. Itulah sebabnya banyak orang datang untuk meminta pertolongan kepada Pangeran Purbaya. Oleh karenanya., maka nama Pangeran Purbaya terkenal hingga ke daerah Pasundan. Karena orang Pasundan percaya bahwa Pangeran Purbaya bisa memberikan pertolongan untuk mengobati orang yang sakit maupun yang lainnya.

Muncullah istilah, kalau kata-katanya orang yang agung (sakti) dengan istilah IDU BACIN (air liur yang bau) dan orang Pasundan menyebutnya CAI BIUK. BACIN (air liur yang bau) dan orang Pasundan menyebutnya CAI BIUK. IDU BACIN adalah merupakan sanepa. Arti sebenarnya yaitu IDU = air ludah, BACIN = bau tak sedap, seperti bau bangkai. Tetapi istilah IDU BACIN diatas adalah rasa rendah hati bagi orang agung, sebab dirinya tidak mau dikatakan bisa, ita Allah. Kebiasaannya orang agung itu setelah membacakan do’a, kemudian meniupkan pada air putih yang untuk obat itu, terkadang air ludahnya muncrat/nyembur. Oleh karena itu daerah tempat tinggal Pangeran Purbaya diberi nama CIBIUK (berasal dari kata CAI BIUK), kemudian berkembang menjadi Desa Cibiuk.

Ketika masa penjajahan Belanda (± tahun 1921) Desa Cibiuk digabung menjadi satu dengan pemerintahan Desa Plumbon.

Enam puluh satu tahun lamanya Desa Cibiuk menjadi satu dengan pemerintah Desa Plumbon dan pada tahun 1982 terjadi pemekaran Desa. Desa Plumbon dimekarkan menjadi dua, yang disebelah utara tetap masuk wilayah Desa Plumbon, sedangkan yang disebelah selatan (Desa Cibiuk) membentuk desa baru yang diberi nama Desa Purbawinangun.

Adapun yang pernah menjabat Kuwu Desa Purbawinangun adalah :

A.    Nama-nama Kuwu Cibiuk yang dapat diketahui, yaitu :
1.    KH. Kasan (Kuwu)    : 1873 – 1902
2.    Ki Katas (Kuwu)    : 1902 – 1921

B.    Nama-nama kuwu Cibiuk digabung dengan Plumbon oleh Pemerintah Belanda yaitu :
1.    Muharam    : 1928 – 1938  Lurah Cantilan
2.    Katim     : 1938 – 1942  Lurah Cantilan
3.    Sugito    : 1942 – 1944  Lurah Cantilan
4.    Moh. Tohir S    : 1944 – 1946  Lurah Cantilan
5.    Maritan    : 1946 – 1964  Lurah Cantilan
6.    Karsa    : 1964 – 1966  Lurah Cantilan
7.    Karija S    : 1966 – 1982  Lurah Cantilan

C.    Nama-nama kuwu Purbawinangun, yaitu :
1.    Usmana Dirat (Pjs)    : 1982 – 1984
2.    Kuwu Karija S    : 1984 – 1993
3.    Sarwan (Pjs)    : 1993 – 1994
4.    Kuwu Renesi Kentas     : 1995 – 2003
5.    Kuwu Nuryadi W.S    : 2003 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA PICUNG PUGUR

SEJARAH ASAL USUL DESA PICUNG PUGUR KABUPATEN CIREBON . Kuta Caruban (Cirebon) mengadakan sayembara adu kedigjayaan (kesaktian) untuk bisa mempersunting seorang putri cantik nan rupawan. Konon kecantikan Sang Putri bagaikan bintang dalam kegelapan malam. Putri tersebut tiada lain bernama “Bentang Ayunan”

Sayembara tersebut diikuti semua kalangan dari jawara bahkan sampai pada pinangiran, yang akhirnya tersisa dua ksatria yakni “Jaka Sundang” dan lawan tandingnya bernama “Kuda Pangrawit”.

Pertarungan antara Jaka Sundang dan Kuda Pangerawit sangat seru dan berimbang, sehingga makan waktu yang cukup lama, bahkan selalu berpindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lainnya mengantarkan perang tanding antara kedua tokoh tersebut ke satuy dataran yang banyak ditumbuhi pohon picung dan banyak pula mata airnya. Bahkan ditempat inilah, kedua tokoh ini sempat beristirahat dan memakan buah picung untuk menghilangkan rasa lapar. Sebelum meneruskan perang tanding dengan segala daya dan kemampuan yang dimiliki masing-masing, baik itu Jaka Sundang maupun Kuda Pangrawit yang akan menentukan siapa yang pantas mempersunting putri yang bernama “Bentang Ayunan”. Pada suatu kesempatan, Jaka Sundsang melemparkan tubuh Kuda Pangrawit ke arah pohon picung yang buahnya sangat lebat sehingga mengakibatkan pohon picung itu tumbang dan diikuti “bergugurannya buah picung”  tersebut.

Sadar dirinya (Kuda Pangrawit) bisa dilemparkan ke arah pohon picung yang buahnya telah ia makan, dengan kebesaran hati dan jiwa kesatria Kuda Pangrawit mengakui kekalahan dan kesalah pahaman antara dirinya dengan Jaka Sundang.

Saebelum Jaka Sundang menuju Kuta Caruban (Cirebon) untuk mempersunting Bentang Ayunan, beliau memberi nama dataran yang menjadi tempat perang tanding dengan nama “Picung Pugur”. (Picung berarti pohon, Pugur berarti tumbang/berguguran).

Kemenangan Jaka Sundang disambut gembira oleh pembesar Kuta Caruban. Diadakannya jamuan dalam acara pernikahan antara Jaka Sundang dan Bentang Ayunan. Dalam acara tersebut pembesar Kuta Caruban menampilkan kesenian wayang yang dihadiri para Ki Gedeng dan Pinangeran dari seluruh wilayah Kuta Caruban saat itu.
Pada saat munculnya tokoh Togog dalam ceritera wayang tersebut, sontak para tamu undangan yang hadir tertawa terbahak-bahak, tanpa sadar akan adanya Jaka Sundang. Melihat hal tersebut Jaka Sundang merasa dirinya ditertawakan, beliau bergegas kembali ke pedukuhan yang telah diberi nama Pedukuhan “Picung Pugur” dengan semboyan (membawa serta) putri Bentang Ayunan.

Setibanya beliau di tempat yang dituju, Jaka Sundang mengangkat/mengucapkan sumpah yang intinya melarang anak cucunya dan masyarakat Pedukuhan Picung Pugur menampilkan Kesenian Wayang di daerahnya, sebab Jaka Sundang tidak mau ditertawakan seperti kejadian di Kuta Caruban

A.    Peranan Jaka Sundang terhadap nama petilasan (tempat) di Pedukuhan Picung Pugur dan makna yang terkandung didalamnya.
1.    Ketika Jaka Sundang mengemban (menggendong) Bentang Ayunan sampai ke sebuah mata air yang akhirnya tempat itu dikenal dengan nama “Cibangban”. Hal ini sangat mencerminkan betapa melindunginya dan menghargainya, tokoh Jaka Sundang pada seorang wanita.
2.    “Palasah Nunggal” , tempat ini adalah tempat beliau bertapa mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, dalam arti beliau selalu mengingat “Falsafah Tunggal” (palasah nunggal, diartyikan Falsafah Tunggal) menunjukkan betapa beliau sangat mempunyai pandangan hidup kehidupan, khususnya karena adanya sesuatu yang tunggal yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
3.    Di Hulu Dayeuh (Pusat Desa) ada petilasan berupa Makam Togog (Ki Buyut Busong), beliau mengingatkan para pemimpin Pedukuhan Picung Pugur hendaklah mengambil Falsafah Togog (Ki Buyut Busong), yaitu sebagai pengayom masyarakat.

B.    Peranan Jaka Sundang dalam hal Kebudayaan di Pedukuhan Picung Pugur
1.    Masih berkisar di Hulu Dayeuh (pusat desa/pedukuhan) tidak boleh ada “Bedug”. Dalam arti hakekat “Bedug” adalah suara jantung manusia yang semakin keras suaranya menandakan nafsu amarah yang meliputi tahta, harta, dan wanita.
    Karena melarang adanya bedug, beliau memunculkan penggantinya yaitu “goong” (gong) dengan adanya figur “Ki “Buyut Goong” bunmyi goong secara lahiriah sendiri adalah “gung-gung-gung-ger” (gung berarti Agung dan ger berarti angger/tetap) yang secara hakekat diartikan menyembah “Yang Agung” (Tuhan Yang Maha Esa) harus tetap (angger).
2.    Satu hal lagi terkait sumpah Jaka Sundang adalah melarang anak cucunya dan masyarakat Pedukuhan (desa) Picung Pugur menampilkan kesenian wayang terutama tokoh “Rahwana”. Beliau mengingatkan “Rahwana” adalah simbol “amarah”, raja durjana yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, baik takhta, harta dan wanita yang semuanya hal semu di dalam kehidupan dunia.
Alangkah besarnya peranan Jaka Sundang dalam hal pembinaan akhlak masyarakat Pedukuhan (Desa) Picung Pugur, terbukti sampai masa sekarang masyarakat Desa Picung Pugur masih menghormati budaya leluhurnya dan sudah mengakar dalam diri masyarakat Desa Picung Pugur.

Letak Geografis Desa Picung Pugur :
-     Sebelah utara, Desa Picung Pugur berbatasan dengan Desa Leuwidingding
-    Sebelah barat, Desa Picung Pugur berbatasan dengan Desa Asem
-    Sebelah selatan, Desa Picung Pugur berbatasan dengan Desa Wilulang
-    Sebelah timur, Desa Picung Pugur berbatasan dengan Desa Karangsuwung

Sebagian besar masyarakat Picung Pugur adalah petani dan pedagang, hal ini mendukung terlahirnya kesenian yaitu Reog. Adapun adat desa di Picung Pugur adalah Mapag Sri (sebagai wujud permohonan manusia pada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan rahmat, barokah dan keselamatan menjelang panen padi) yang keberadaannya sdangat unik bila dihidupkan kembali, sebab ada sebuah pepatah yang mengatakan “Barang siapa yang meninggalkan dan melupakan seni budaya dan para leluhurnya, maka terimalah kehancuran daerah tersebut”.

Daftar Nama-nama Kepala Desa Picung Pugur Kec. Lemahabang Kabupaten Cirebon yang diketahui diantaranya:

1.    Saya    :
2.    Runda    :
3.    Kastam    :
4.    Suta Arja    : 1935 – 1937
5.    Durahim    : 1937 – 1949
6.    Sukra    : 1950 – 1953
7.    Dirja    : 1953 – 1967
8.    Johari    : 1967 – 1968
9.    Jaya    : 1968 – 1984
10.    Endo Iskandar (Pjs)    : 1984 –
11.    Eka Yonanda AR    : 1984 – 1988
12.    Achmad Maksudi (Pjs)    : 1988 – 1994
13.    Sukarta (Pjs)    : 1994
14.    Achmad Maksudi     : 1994 – 2003
15.    Sukarta (Pjs)    : 2003
16.    Ibu Komalasari    : 2003 – sekarang

Untuk saat ini (periode sekarang) tampuk pimpinan Desa Picung Pugur dijabat oleh Ibu Komalasari yang dipilih langsung oleh Masyarakat Desa Picung Pugur adalah bagian dari wilayah Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon.   

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA PANGGANGSARI

SEJARAH ASAL USUL DESA DESA PANGGANGSARI .Pada jaman dulu di negeri Cempa (wilayah Kamboja) seorang pemuda tampan yang bernama Pangeran Cempa sedang gundah gulana. Beliau belum tahu siapa gerangan ayahandanya. Dalam suatu saat, Pangeran Cempa bertemu dengan seorang yang bernama Jati Suwara. Kemudian terjadilah percakapan sampai akhirnya Pangeran Cempa menanyakan ayahandanya kepada Jati Suwara. “Pangeran, sesungguhnya ayahandamu adalah seorang manusia sakti yang berasal dari tanah Jawa yang bernama Pangeran Walangsungsang bergelar Pangeran Cakrabuana, alias Mbah Kuwu Cerbon, putera maharaja Prabu Siliwangi…”, demikian Jati Suwara menjelaskan. Selanjutnya atas petunjuk Jati Suwara berangkatlah Pangeran Cempa menuju tanah Jawa dengan menggunakan perahu layar.

Perjalanan yang cukup melelahkan itu akhirnya sampai di sebuah muara yang bernama muara Sanggabraja (sekarang Cisanggarung), dan berlabuh di Pulau Madengda (sekarang Losari). Di Pulau Madengda beliau bertemu dengan Pangeran Silih Asih yang sedang melakukan perjalanan ke Cirebon. Seolah mendapat firasat, Pangeran Cempa merasakan dirinya berhadapan dengan seorang sakti yang mampu menunjukkan dimana gerangan ayahanda Pangeran Walangsungsang. Oleh Pangeran Silih Asih dijelaskan bahwa untuk mengetahui letak tanah Cirebon hendaknya melakukan dulu sebuah ritual yaitu bertapa selama empat puluh hari diatas sebuah bara api sambil duduk bersila. Cara tapa seperti itu disebut tapa manggang, layaknya memanggang ikan. Karena keinginan yang begitu kuat untuk bertemu dengan ayahanda Walangsungsang, akhirnya Pangeran Cempa menyanggupi persyaratan tersebut. Sementara itu nampak dari kejauhan Pangeran Silih Asih terkagum-kagum mengamati proses ritual itu sampai selesai. Dengan perasaan kaget bercampur kagum akan kesaktian anak muda itu yang mampu bertahan duduk diatas bara api tanpa merasakan rasa panas.

Sesuai dengan perjanjian, kemudian Pangeran Cempa diantar ke tanah Cirebon. Kemudian tempat Pangeran Cempa bertapa disebut tanah panggang. Kini menjadi nama Desa Panggangsari, karena saat Pangeran Cempa melakukan tapa manggang diatas bara api telah memperoleh sari kehidupan, tidak merasakan panasnya bara api.

Di Cirebon Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang bingung memikirkan jubah milik rama uwa Pangeran Walangsungsang yang bergelar Pangeran Cakrabuana, hilang entah kemana. Kesedihan rama uwanya tentu menjadi beban tersendiri bagi diri Kanjeng Sunan, sebab beliau tidak ingin keadaan ini akan menjadi petaka bagi tanah Cirebon.

Sesaat beliau merenung, dan atas kehendak Yang Maha Kuasa tiba-tiba Sunan Jati ujudnya berubah menjadi seorang kakek-kakek yang menamakan dirinya Raga Wiganti. Rasa tanggung jawab terhadap tanah Jawa diwujudkan dengan melakukan pencarian terhadap jubah milik rama uwanya. Di perjalanan tiba-tiba beliau bertemu dengan dua orang pemuda yaitu Pangeran Cempa dan Pangeran Silih Asih yang akan menemui Pangeran Walangsungsang. Setelah mengetahui siapa dan apa maksud dari kedua orang itu, Raga Wiganti menjelaskan bahwa kalau Pangeran Walangsungsang yang dimaksud sedang kehilangan jubahnya. Jika pangeran ingin mengabdi dan berguru agama Islam padanya, pangeran harus mencari jubah tersebut. Raga Wiganti memberi petunjuk melalui mimpinya bahwa yang mencuri selendang adalah seseorang yang sedang semedi di Gunung Ciremai.

Pangeran Cempa menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati  yang berujud Raga Wiganti, kemudian beliau menuju Gunung Ciremai, sementara Raga Wiganti kembali ke keraton di Cirebon dan Pangeran Silih Asih kembali ke Losari.

Adapun pertapa yang berada di Gunung Ciremai tersebut bernama Pangeran Pegagan. Sudah sekian lama beliau melakukan semedi hingga tanpa disadari dihadapannya sudah berdiri Pangeran Cempa yang siap-siap melakukan serangan. Sadar dalam bahaya Pangeran Pegagan bangkit dari tapanya. Setelah perang mulut antar keduanya terjadilah pertempuran yang hebat. Keduanya adalah pemuda-pemuda sakti yang sulit dicari tandingannya. Beberapa kali Pangeran Pegagan terdesak hingga akhirnya Pangeran Cempa mampu mengunggulinya pada jurus pamungkasnya.

Setelah takluk kepada Pangeran Cempa, Pangeran Pegagan mengajaknya untuk menemui ibunya yang bernama Nyi Dewi Barapanas dan memberi tahu  bahwa Pangeran Cempa adalah puteranya Pangeran Cakrabuana, dan berniat untuk mengambil selendang milik Pangeran Cakrabuana yang telah dicuri oleh Pangeran Pegagan. Betapa kagetnya Nyi Dewi Barapanas mengetahui siapa sesungguhnyaa yang ada dihadapannya, kemudian Nyi Dewi Barapanas mengajukan permohonan kepada Pangeran Cempa, andai sorban Pangeran Walangsungsang dikembalikan melalui puteranya, Pangeran Cempa agar menerima Pangeran Pegagan sebagai muridnya. Pangeran Cempa mengabulkannya, selanjutnya keduanya berangkat diikuti isak tangis Nyi Dewi Barapanas yang ditinggal oleh anaknya Pangeran Pegagan.

Di Keraton Cirebon, Pangeran Cakrabuana begitu kaget dan bahagia mendapatkan sorbannyaa kembali lagi kepangkuannya. Selanjutnya setelah dijelaskan oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati bahwa yang mendapatkan kembali jubahnya adalah puteranya, akhirnya mereka berangkulan tanda bahagia. Dan Pangeran Pegagan diterimaa sebagai putera impian dari Nyi Dewi Barapanas.

Pada pemerintahan sekarang Desa Panggangsari berada di Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. Adapun nama-nama kuwu Panggangsari yang diketahui adalah :
1.    Chaerudin    : 1984 – 1994
2.    Suwarno    : 1994 – 2002
3.    H. tajwid    : 2002 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL DESA PALIMANAN

SEJARAH ASAL USUL DESA PALIMANAN KABUPATEN CIREBON Info sebelumnya kami telah berbagi Asal Usul Sejarah Berdirinya Desa Lemahabang dan untuk kali ini membahasa Asal Usul Desa Palimanan . Desa Palimanan terletak di pusat kota Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon, luasnya 26.764 Ha, terdiri dari tanah bukit dan tanah datar di kaki gunung Ciremai.

Pada tahun 2006, penduduknya berjumlaah 5.586 orang terdiri daari laki-laki 2.842 orang dan perempuan 2.861 orang, mata pencaharian sebagian besar penduduknya pedagang, ada pula yang petani dan pegawai negeri.

Waktu awal mula tumbuh dan berkembangnya ajaran Islam dibawah kekuasaan Kerajaan Islam Cirebon yang dipimpin Kanjeng Sinuhun Syekh Syarif Hidayatullah dan Rama uwaknya Pangeran Cakrabuana (Mbah Kuwu Cirebon), beliau mengutus seorang kesatria pilih tanding untuk menggempur dan menundukkan orang-orang yang masih kafir dan memusuhi Islam, maka seorang kesatria tadi merubah wujud menjadi Nyai Mas Gandasari, Nyai artinya perempuan, Mas artinya seorang laki-laki, gandasari artinya memiliki dua kemaluan, perempuan dan laki-laki. Nyai Mas Gandasari sebelum maju ke medan pertempuran terlebih dahulu menitipkan pelanangannya atau PELI (penis) kepada seorang Ki Gede yang juga sakti mandra guna (raga poyan). Singkat ceritera usai pertempuran Nyai Mas Gandasari bermaksud hendak mengambil PELI yang dititipkan kepada Ki Gede tadi, namun apa yang terjadi, begitu kecewa karena PELI yang dititipkan tadi tanpa disengaja “keeleg” / Bahasa Cirebon (termakan) dan masuk kedalam perut, disebabkanPELI tadi ditelan ke dalam mulut Ki Gede, maka berkatalah Nyai Mas Gandasari kepada Ki Gede : “Mangan PELI kaya buta”/Cirebon (makan PELI layaknya seorang raksasa), seketika itu Ki Gede berubah ujud menjadi seorang raksasa. Dari kejadian itulah maka daerah tersebut dinamakan Palimanan, yang kemudian menjadi Desa Palimanan.

Pada pertengahan abad ke 15, sekitar tahun 1450 M, wilayah pedukuhan Cheribon masih dikuasai Prabu Cakraningrat Kerajaan Galuh yang berkedudukan di Rajagaluh bawahan kerajaan Pajajaran. Pada saat itu penguasa Kerajaan Galuh Pakuan untuk wilayah Cheribon  dipercayakan kepada Panglima Perangnya yang bernama Ki Patih Arya Kiban atau Ki Gede Palimanan dibantu oleh Arya Gempol, Arya Sutem, Arya Igel dan yang lainnya. Pusat perwakilan kerajaan berkedudukan di Palimanan sebagai pintu gerbang pertahanan dan untuk memantau/mengawasi situasi Kerajaan Islam Cirebon dibawah pimpinan Syekh Syarif Hidayatullah.

Tempat Situs bersejarah peninggalan leluhur

Situs dan Alamat Obyek Wisata Banyu Panas. Gua Dalem, Gua Topong, Gua Macan, Gua Lawang Sanga, Gunung Jarom, Gunung Kromong dan Obyek Wisata Banyu Panas serta masih ada yang lainnya. Situs-situs tersebut sudah punah dan tinggal namanya saja karena sudah dimiliki oleh PT. Indocement atau tanah tersebut dikuasai oleh Badan Milik Negara (BUMN) dan tidak bisa diganggu gugat yang merupakan asset negara. Situs yang masih ada yaitu Gua Dalem, disamping Gua Dalem terdapat makam Kasan-Kusen yang berasal dari Mesir. Situs tersebut ada di wilayah Desa Palimanan Barat masuk Kecamatan Gempol.

Pada tahun 1982, diadakan pertemuan/musyawarah antara tokoh masyarakat dengan aparat pemerintah Desa Palimanan Barat. Dari hasil mesyawarah itu disepakati bahwa wilayah Desa Palimanan dibagi menjadi dua desa yaitu Desa Palimanan Timur dan Desa Palimanan Barat yang keduanya berada di Kecamatan Palimanan. Pepatah orang Palimanan “Sugi beli rerawat, melarat beli gegulat”.

Sekarang Desa Palimana Timur masuk wilayah Kecamatan, sedangkan Desa Palimanan Barat masuk wilayah Kecamatan Gempol. Itu terjadi ketika tahun 2005.

Berikut batas-batas wilayah Desa Palimanan Timur :
1.    Sebelah barat berbatasan dengan Desa Palimanan Barat dan Desa Gempol.
2.    Sebelah timur berbatasan dengan Desa Klangenan (Kecamatan Klangenan).
3.    Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Semplo.
4.    Sebelah utara berbatsan dengan Desa Pegagan.

sedangkan batas-batas wilayah Desa Palimanan Barat adalah :
1.    Sebelah  timur berbatasan dengan Desa Gempol
2.    Sebelah barat berbatasan dengan Desa Ciwaringin.
3.    Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cikeusal
4.    Sebelah utara berbatsan dengan Desa Kedungbunder

Nama-nama Kepala Desa Palimanan Timur yang diketahui diantaranya :
1.    Mustaram    : 1951 – 1962
2.    Kosim    : 1963 – 1972
3.    Gulemi (Pjs)    : 1971 – 1973
4.    Rodi Akmad    : 1973 – 1981
5.    Bengkok     : 1981 – 1998
6.    Agus Irianto    : 1998 – Sekarang

Nama-nama Kepala Desa Palimanan Barat yang diketahui diantaranya :
1.    Nurudin    : 1982 – 2000
2.    Nurudin    : 2000 – sekarang

Baca Selengkapnya »