SEJARAH ASAL USUL DESA/KELURAHAN KEDUNGSANA KABUPATEN CIREBON . Dahulu kala disebuah kampung ada sepasang suami istri yang hidup bahagia aman dan damai, sepasang suami istri tersebut sangat rajin dan tekun bekerja, yang laki-laki bernama Ki Kedung dan istrinya Nyi Sana.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya Ki Kedung dan Nyi Sana bercocok tanam. Disamping menanam padi juga menanam palawija seperti timun dan terong. Akhirnya sampai sekarang banyak orang-orang Kedungsana yang menanam palawija seperti: timun, terong dan kacang panjang serta yang lainnya.
Maka jelaslah bahwa penduduk Desa Kedungsana sebagian besar penghidupannya sebagai petani dan buruh tani.
Sekitar tahun 1450 M, Ki Kedung dan Nyi Sana mulai kenal dengan Ki Kuwu Cirebon. Pada waktu itu Ki Kuwu Cirebon dengan perahunya singgah di tempat kediaman Ki Kedung dan Nyi Sana sambil menyebarkan agama Islam, hubungan mereka semakin erat sehingga Ki Kedung dan Nyi Sana sering berkunjung ke rumah Ki Kuwu Cirebon. Seandainya Ki Kedung dan Nyi Sana lama tidak berkunjung kesana, maka Ki Kuwu mengajak istrinya berkunjung ke tempat Ki Kedung dan Nyi Sana dengan menyebut “Kedungsana”, sejak itulah tempat tinggal Ki Kedung dan Nyi Sana dinamai Kedungsana, yang kemudian menjadi Desa Kedungsana berada di wilayah Kecamatan Plumbon.
Ki Kedung mendapat tugas untuk menjaga hutan yang ada di Kedungsana yang akhirnya tempat itu dinamai :Jaga Wana”. Ketika itu keraton Cirebon sedang mengadakan Pancen untuk menjaga “Gedong Jinem”, karena Ki Kedung sudah tua maka tugas itu dibebankan kepada anaknya yang bernama Ki Jenggot.
Disamping sebagai petani Ki Kedung juga memelihara kerbau yang biasa digunakan untuk membajak sawah. Suatu hari pada waktu sedang memandikan kerbaunya di musim penghujan, kebetulan sungainya banjir, Ki Kedung memperoleh sepotong bamboo yang hanyut di sungai tersebut. Bambu itu dibawa pulang dan dibakar dengan rumput pada tempat perapian, anehnya bamboo itu dapat berpindah tempat. Setelah beberapa hari tetap dapat berpindah tempat, akhirnya bamboo dibelah dan di dalamnya terdapat sebilah keris.
Ki Jenggot mewakili Ki Kedung untuk berangkat ke Keraton Cirebon untuk melaksanakan pancen. Kebanyakan para petugas pancen hanya tinggal namanya saja. Kalau malam piket esok harinya meninggal dunia.
Setelah sampai di Keraton Cirebon, Ki Jenggot disuruh menjaga benda-benda pusaka di Gedong Linem, diantaranya Keris Nagarunting. Pada tengah malam daalam kamar keluar seekor ular besar, kemudian Keris Kober keluar sendiri dari sarungnyaa langsung menghadapi ular tersebut. Ular tersebut berubah menjadi keris kembali. Akhirnya keris dengan keris bertanding dan Keris Nagarunting ujungnya patah, kemudian Ki Jenggot diserang oleh makhluk gaib sebangsa jin. Ki Jenggot menghadapinya dengan tenang saqtu persatu. Jin dapat dikalahkan. Bahkan ada satu jin yang namanya Ki Muntili mau dibanting namun jin itu memintaa ampun dan mau dijadikan pembantu dan menurut sesuai dengan apa perintah Ki Jenggot.
Keesokan harinya Ki Jenggot pulang di gedong, dalam perjalanan tanah yang terinjak ada yang bersuara bung. Karena itu tanahnya digali daan di daalamnyaa terdapat gamelan (balabandung) dan tiap hari raya gamelan itu dimandikan (dicuci) dan ditabuh.
Tetapi sekarang gamelan itu tidak ditabuh, tetapi setiap hari raya dimadikan saja. Gamelan itu selalu berada di rumah Kuwu yang masih bertugas. Gamelan tersebutmasih ada walaupun sejak abad 15, dan tiap tanggal 12 Maulid, hari raya Idul Fitri dan hari raya idul Adha selalu dimandikan dengan air kembang.
Di rumah Ki Jenggot, Ki Muntili ditempatkan pada kandang kerbau dan mendapat tugas untuk memandikan kerbau-kerbau itu. Sayangnya Ki Muntili suka mengganggu orang-orang yang sedang mandi dan sering memindahkan air ke tempat lain.
Akhirnya Ki Muntili mendapatkan tugas baru yaitu membajak sawah, makanya di Kedungsana dulu tersiar kabar ada bajak yang berjalan sendiri.
Ki Muntili mau membajak sawah kalau ada hujan, karena banyak guntur dan kilat supaya lekas dijemput. Tetapi sewaktu membajak di Tiroke Ki Muntili kehujanan dan Ki Jenggot lupa menjemputnya. Ki Muntili tersambar petir taapi hanya kerbaunya saja yang mati dan dikubur disitu, kemudian Ki Muntili pulang dan tempat tinggalnya pindah pada gamelan.
Pengganti Ki Jenggot ialah Ki Eter, waktu balai desa masih di timur sungai (blok Jamar Jati). Pada waktu itu Kedungsana mendapatkan cobaan, ada seorang pengemis minta beras sekocel (sekitar 2,5 kg) dan seekor ayam putih kepada Ki Eter. Permintaan pengemis tidak dikabulkan, selang beberapa hari timbul angin kencang. Angin kencang tersebut mengakibatka serambi masjid yang ada dibagian depan terpelanting ke Limbangan.
Daftar Nama-nama Kuwu Kedungsana yang diketahui diantaranya :
1. Kuwu Jenggot
2. Kuwu Eter
3. Kuwu sarkani/Kuwu Haji
4. Kuwu Kalmin/Buyut Kalmin
5. Kuwu Rentayim/Buyut Rentayim
6. Kuwu Kalinten/Buyut Kalinten
7. Kuwu Remas : 1925 – 1955
8. Kuwu Suminta : 1955 – 1968
9. Kuwu Asmar : 1968 – 1982
10. Kuwu Oetarja (Pj) : 1982 – 1984
11. Kuwu Mu’min R : 1984 – 1992
12. Kuwu Abdul Majid (Pj) : 1992 – 1994
13. Kuwu B.M. Makhali : 1994 – 1999
14. Kuwu Rustija (Pj) : 1999 – 2001
15. Kuwu M Surjaya : 2001 – sekarang