SEJARAH ASAL USUL DESA DESA PANGGANGSARI .Pada jaman dulu di negeri Cempa (wilayah Kamboja) seorang pemuda tampan yang bernama Pangeran Cempa sedang gundah gulana. Beliau belum tahu siapa gerangan ayahandanya. Dalam suatu saat, Pangeran Cempa bertemu dengan seorang yang bernama Jati Suwara. Kemudian terjadilah percakapan sampai akhirnya Pangeran Cempa menanyakan ayahandanya kepada Jati Suwara. “Pangeran, sesungguhnya ayahandamu adalah seorang manusia sakti yang berasal dari tanah Jawa yang bernama Pangeran Walangsungsang bergelar Pangeran Cakrabuana, alias Mbah Kuwu Cerbon, putera maharaja Prabu Siliwangi…”, demikian Jati Suwara menjelaskan. Selanjutnya atas petunjuk Jati Suwara berangkatlah Pangeran Cempa menuju tanah Jawa dengan menggunakan perahu layar.
Perjalanan yang cukup melelahkan itu akhirnya sampai di sebuah muara yang bernama muara Sanggabraja (sekarang Cisanggarung), dan berlabuh di Pulau Madengda (sekarang Losari). Di Pulau Madengda beliau bertemu dengan Pangeran Silih Asih yang sedang melakukan perjalanan ke Cirebon. Seolah mendapat firasat, Pangeran Cempa merasakan dirinya berhadapan dengan seorang sakti yang mampu menunjukkan dimana gerangan ayahanda Pangeran Walangsungsang. Oleh Pangeran Silih Asih dijelaskan bahwa untuk mengetahui letak tanah Cirebon hendaknya melakukan dulu sebuah ritual yaitu bertapa selama empat puluh hari diatas sebuah bara api sambil duduk bersila. Cara tapa seperti itu disebut tapa manggang, layaknya memanggang ikan. Karena keinginan yang begitu kuat untuk bertemu dengan ayahanda Walangsungsang, akhirnya Pangeran Cempa menyanggupi persyaratan tersebut. Sementara itu nampak dari kejauhan Pangeran Silih Asih terkagum-kagum mengamati proses ritual itu sampai selesai. Dengan perasaan kaget bercampur kagum akan kesaktian anak muda itu yang mampu bertahan duduk diatas bara api tanpa merasakan rasa panas.
Sesuai dengan perjanjian, kemudian Pangeran Cempa diantar ke tanah Cirebon. Kemudian tempat Pangeran Cempa bertapa disebut tanah panggang. Kini menjadi nama Desa Panggangsari, karena saat Pangeran Cempa melakukan tapa manggang diatas bara api telah memperoleh sari kehidupan, tidak merasakan panasnya bara api.
Di Cirebon Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang bingung memikirkan jubah milik rama uwa Pangeran Walangsungsang yang bergelar Pangeran Cakrabuana, hilang entah kemana. Kesedihan rama uwanya tentu menjadi beban tersendiri bagi diri Kanjeng Sunan, sebab beliau tidak ingin keadaan ini akan menjadi petaka bagi tanah Cirebon.
Sesaat beliau merenung, dan atas kehendak Yang Maha Kuasa tiba-tiba Sunan Jati ujudnya berubah menjadi seorang kakek-kakek yang menamakan dirinya Raga Wiganti. Rasa tanggung jawab terhadap tanah Jawa diwujudkan dengan melakukan pencarian terhadap jubah milik rama uwanya. Di perjalanan tiba-tiba beliau bertemu dengan dua orang pemuda yaitu Pangeran Cempa dan Pangeran Silih Asih yang akan menemui Pangeran Walangsungsang. Setelah mengetahui siapa dan apa maksud dari kedua orang itu, Raga Wiganti menjelaskan bahwa kalau Pangeran Walangsungsang yang dimaksud sedang kehilangan jubahnya. Jika pangeran ingin mengabdi dan berguru agama Islam padanya, pangeran harus mencari jubah tersebut. Raga Wiganti memberi petunjuk melalui mimpinya bahwa yang mencuri selendang adalah seseorang yang sedang semedi di Gunung Ciremai.
Perjalanan yang cukup melelahkan itu akhirnya sampai di sebuah muara yang bernama muara Sanggabraja (sekarang Cisanggarung), dan berlabuh di Pulau Madengda (sekarang Losari). Di Pulau Madengda beliau bertemu dengan Pangeran Silih Asih yang sedang melakukan perjalanan ke Cirebon. Seolah mendapat firasat, Pangeran Cempa merasakan dirinya berhadapan dengan seorang sakti yang mampu menunjukkan dimana gerangan ayahanda Pangeran Walangsungsang. Oleh Pangeran Silih Asih dijelaskan bahwa untuk mengetahui letak tanah Cirebon hendaknya melakukan dulu sebuah ritual yaitu bertapa selama empat puluh hari diatas sebuah bara api sambil duduk bersila. Cara tapa seperti itu disebut tapa manggang, layaknya memanggang ikan. Karena keinginan yang begitu kuat untuk bertemu dengan ayahanda Walangsungsang, akhirnya Pangeran Cempa menyanggupi persyaratan tersebut. Sementara itu nampak dari kejauhan Pangeran Silih Asih terkagum-kagum mengamati proses ritual itu sampai selesai. Dengan perasaan kaget bercampur kagum akan kesaktian anak muda itu yang mampu bertahan duduk diatas bara api tanpa merasakan rasa panas.
Sesuai dengan perjanjian, kemudian Pangeran Cempa diantar ke tanah Cirebon. Kemudian tempat Pangeran Cempa bertapa disebut tanah panggang. Kini menjadi nama Desa Panggangsari, karena saat Pangeran Cempa melakukan tapa manggang diatas bara api telah memperoleh sari kehidupan, tidak merasakan panasnya bara api.
Di Cirebon Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang bingung memikirkan jubah milik rama uwa Pangeran Walangsungsang yang bergelar Pangeran Cakrabuana, hilang entah kemana. Kesedihan rama uwanya tentu menjadi beban tersendiri bagi diri Kanjeng Sunan, sebab beliau tidak ingin keadaan ini akan menjadi petaka bagi tanah Cirebon.
Sesaat beliau merenung, dan atas kehendak Yang Maha Kuasa tiba-tiba Sunan Jati ujudnya berubah menjadi seorang kakek-kakek yang menamakan dirinya Raga Wiganti. Rasa tanggung jawab terhadap tanah Jawa diwujudkan dengan melakukan pencarian terhadap jubah milik rama uwanya. Di perjalanan tiba-tiba beliau bertemu dengan dua orang pemuda yaitu Pangeran Cempa dan Pangeran Silih Asih yang akan menemui Pangeran Walangsungsang. Setelah mengetahui siapa dan apa maksud dari kedua orang itu, Raga Wiganti menjelaskan bahwa kalau Pangeran Walangsungsang yang dimaksud sedang kehilangan jubahnya. Jika pangeran ingin mengabdi dan berguru agama Islam padanya, pangeran harus mencari jubah tersebut. Raga Wiganti memberi petunjuk melalui mimpinya bahwa yang mencuri selendang adalah seseorang yang sedang semedi di Gunung Ciremai.
Pangeran Cempa menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati yang berujud Raga Wiganti, kemudian beliau menuju Gunung Ciremai, sementara Raga Wiganti kembali ke keraton di Cirebon dan Pangeran Silih Asih kembali ke Losari.
Adapun pertapa yang berada di Gunung Ciremai tersebut bernama Pangeran Pegagan. Sudah sekian lama beliau melakukan semedi hingga tanpa disadari dihadapannya sudah berdiri Pangeran Cempa yang siap-siap melakukan serangan. Sadar dalam bahaya Pangeran Pegagan bangkit dari tapanya. Setelah perang mulut antar keduanya terjadilah pertempuran yang hebat. Keduanya adalah pemuda-pemuda sakti yang sulit dicari tandingannya. Beberapa kali Pangeran Pegagan terdesak hingga akhirnya Pangeran Cempa mampu mengunggulinya pada jurus pamungkasnya.
Setelah takluk kepada Pangeran Cempa, Pangeran Pegagan mengajaknya untuk menemui ibunya yang bernama Nyi Dewi Barapanas dan memberi tahu bahwa Pangeran Cempa adalah puteranya Pangeran Cakrabuana, dan berniat untuk mengambil selendang milik Pangeran Cakrabuana yang telah dicuri oleh Pangeran Pegagan. Betapa kagetnya Nyi Dewi Barapanas mengetahui siapa sesungguhnyaa yang ada dihadapannya, kemudian Nyi Dewi Barapanas mengajukan permohonan kepada Pangeran Cempa, andai sorban Pangeran Walangsungsang dikembalikan melalui puteranya, Pangeran Cempa agar menerima Pangeran Pegagan sebagai muridnya. Pangeran Cempa mengabulkannya, selanjutnya keduanya berangkat diikuti isak tangis Nyi Dewi Barapanas yang ditinggal oleh anaknya Pangeran Pegagan.
Di Keraton Cirebon, Pangeran Cakrabuana begitu kaget dan bahagia mendapatkan sorbannyaa kembali lagi kepangkuannya. Selanjutnya setelah dijelaskan oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati bahwa yang mendapatkan kembali jubahnya adalah puteranya, akhirnya mereka berangkulan tanda bahagia. Dan Pangeran Pegagan diterimaa sebagai putera impian dari Nyi Dewi Barapanas.
Pada pemerintahan sekarang Desa Panggangsari berada di Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. Adapun nama-nama kuwu Panggangsari yang diketahui adalah :
1. Chaerudin : 1984 – 1994
2. Suwarno : 1994 – 2002
3. H. tajwid : 2002 – sekarang