SEJARAH ASAL USUL NASI JAMBLANG

SEJARAH LENGKAP ASAL USUL NASI JAMBLANG Nasi jamblang atau sega jamblang adalah masakan khas cirebon yang dimana penjualnya tersebar di pelosok daerah cirebon dan sangat mudah untuk mendapatkan masakan nasi jamblang ini, yang membuat unik dari masakan ini yaitu Nasinya dibungkus dengan Daun Jati

Sejarah Asal Usul Nasi Jamblang Cirebon ini di mulai pada tahun 1847 pemerintah kolonial belanda membangun sebuah pabrik gula di wilayah gempol palimanan, pabrik gula plumbon, dan pabrik spirtus di palimanan. dengan dibangunnya pabrik pasti akan membutuhkan banyak tenaga kerja yang berasal dari warga di wilayah kawedanan palimanan, plumbon dan daerah sekitarnya.

Banyaknya para pekerja di ketiga pabrik tersebut seperti gayung bersambut, karena jelas pasti akan membutuhkan banyak pekerja atau buruh. baik untuk perkebunan sebagai buruh lepas maupun di pabriknya itu sendiri terutaman dibagian perbengkelan, transportasi, administrasi dan bagian keamanan pabrik. para buruh yang datangnya dari jauh seperti sindangjawa, cisaat, cimara, cidahu, ciniru, bobos dan lokong harus pagi pagi buta berangkat dari rumah. mereka membutuhkan sarapan sedangkan penjual nasi belum ada. pada waktu itu ada anggapan bahwa menjual nasi itu tidak boleh atau pamali, ini bisa dimaklumi karena peredaran uang masih sedikit, bahkan orang tua kita dulu banyak menyimpan padi atau beras. mereka berfikir tidak menyimpan uang tidak apa-apa, namun apabila tidak enyimpan padi atau beras bisa sengsara, karena ada rasa ketakutan tidak bisa makan.

Dan pada akhirnya ada seorang warga yang bernama ki antara atau H. Abdulatif dan isrtinya Ny. pulung atau Ny Tan Piauw Lun yang melihat banyak buruh lepas pabrik yang mencari warung penjual nasi, maka ki antara memberanikan diri untuk memberikan sedekah beberapa bungkus nasi kepada para pekerja tersebut.

Rupanya berita ini menyeber dari mulut ke mulut, yang pada akhrinya bertambah banyak pekerja yang meminta sarapan pagi. Ny. Pulung selalu menolak setiap pemberian uang dari para pekerja terbebut, namun para pekerja menyadari bahwa segala sesuatu dapat dibeli harus mengeluarkan uang. sehingga lambat laun para pekerja sepakat hanya memberikan imbalan ala kadarnya kepada Ny. Pulung.

kenapa nasi jamblang menggunakan pembungkus dari daun jati. karena dari tekstur daun jati yang tidak mudah sobek, rusak, dengan menggunakan daun jati nasi yang sudah dibungkus tidak akan cepat basi walaupun terbungkus dalam waktu yang cukup lama, ini dikarenakan para pekerja yang berasal dari daerah wilayah selatan cirebon seperti sindangjawa, cisaat dan sekitarnya menjadikan daun jati ini sebagai pelindung kepala di saat terik panas cirebon yang waw. disitulah peran dai Ny. Pulung mencoba memberikan yang berbeda dari pembungkus makanan yg lainnya. dan sampai sekarang nasi jamblang itu selalu menggunakan daun jati untuk membungkus nasi. Demikianlah urain singkat mengenai Asal-usul Sejarah Nasi/Sega Jamblang Cirebon

Baca Selengkapnya »

SEJARAH DESA BULAK KABUPATEN CIREBON

ASAL USUL SEJARAH DESA BULAK KABUPATEN CIREBON - Bulak berada di wilayah Kewcamatan Arjawinangun, setelah hasil pemekaran dari Kecamatan Klangenan. Jumlah penduduk sebanyak 2.171 orang, laki-laki 1.014 orang dan perempuan 1.157 orang. Mata pencaharian penduduknya petani, pedagang, pegawai dan wiraswasta lainnya.

Pada jaman dahulu di wilayah Cirebon, banyak hutan-hutan yang begitu angker, masih sedikit penghuninya. Mbah Kuwu merancang agar hutan-hutan itu menjadi tanh yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan memperluas pedukuhan demi pengembangan agama Islam.

Ada hutan yang jauh di sebelah barat Gunung Jati, sekarang daerah itu adalah Desa Slangit, yang artinya jauh sekali. Mbah Kuwu mendatangi dan membuka hutan itu, dengan keikhlasannya sedikit demi sedikit hutan yang lebat menjadi tanah yang bagus dan berguna untuk lahan pertanian. Di daerah itulah Mbah Kuwu bercocok tanam.

Karena daerah itu tidak ada air, Mbah Kuwu mencarinya untuk kebutuhan sehari-hari. Secara tak terduga diperjalanan bertemu dengan Ki Kasmadi. Mbah Kuwu melihat keadaan sekelilingnya hutan belantara, hutan yang begitu angker dengan sekejap saja “Bul” = pragat/selesai dan “lak” = lalakan/jauh. Jadilah suatu pedukuhan yang dinamakan Bulak.

Ki Kasmadi ditugaskan oleh Mbah Kuwu sebagai sesepuh pedukuhan Bulak dengan sebutan Ki Gede Kasmadi. Disamping itu diberi tanggung jawab untuk mencari air untuk keperluan masyarakat.
Ki Gede Kasmadi didampingi Nyi Resmi.

Kehidupan Nyi Resmi menyendiri dan senang beternak ayam. Sumur yang didapat kepunyaan Nyi Resmi, yang airnya mengalir terus walaupun kemarau panjang, yang saluran sumber airnya dari sumur Trusmi.

Nyi Resmi terkenal ayamnya, ayam kesayangannya ayam jago, warnanya abang pinatas (bulu merah ekornya ada yang putih), bunyi ayam kongkorongok suaranya nyaring dan merdu. Kalau jago Nyi Resmi kongkorongok, masyarakat pedukuhan itu merasa terharu dan bisa untuk tetenger (waktu), sangkarnya dibuat dari emas. Dan sampai sekarang ayam jago Nyi Resmi, sewaktu-waktu terdengar kongkorongok walaupun tidak rupa tapi ada suara.

Dipercayai oleh masyarakat kalau senang mengadu ayam jago, dimandikan pakai air itu, dipastikan akan menang. Sumurnyapun sampai sekarang masih ada (terletak sebelah barat balai Desa Bulak).

Airnyapun m,asih ada, sekarang dipinggir sumur tumbuh pohon beringin. Dinding sumur bagian bawah dari kayu jati dan diatasnya batu bata. Ki Gede Kasmadi begitu taatnya kepada Mbah Kuwu, yang ditugaskan sehari-hari mengambil air dibawa ke Slangit. Mbah Kuwu memberi hadiah kepada Ki Gede Kasmadi pusaka tongkat wesi kuning yang berkepala naga bermuka empat, panjangnya 1 meter. Pusaka tadi sekarang masih ada, yang setiap bulan Januari saat “pari mapaki/Cirebon” (padi mengandung) dimandikan, dan airnya oleh masyarakat banyak diambil untuk keselamatan dari bahaya penyakit agar padinya mendapat hasil yang banyak. Ki Gede Kasmadi oleh masyarakat disebutnya Ki Gede Bulak.

Mbah Kuwu dengan semangat yang tak kenal lelah bertani menanam padi untuk kesejahteraan penduduk dan tidak lepas pengembangan agama Islam. Tempat tinggalnya di Slangit, sampai sekarang petilasannya masih banyak dikunjungi berbagai penjuru masyarakat.

Bulak semula merupakan cantilan Desa Slangit, Kuwu Slangit tempat kediamannya di Bulak, untuk cantilan dikuasai oleh Kliwon. Setelah Kuwu pertama meninggal, pihak masyarakat Bulak minta pembagian tanah. Setelah kesepakatan bersama atas pembagian hak tanah dan lainnya, Bulak diserahkan dan dijadikan Desa Bulak.

Susunan Kuwu yang diketahui;
1.    Misnen
2.    Ramol
3.    Madgaim
4.    Yudia
5.    Mustadjab
6.    Brahim
7.    Surga    : 1994 – 1986
8.    Tunira (Pj)    : 1993 – 1994
9.    Suja (Pj)     : 1994 – 1996
10.    Sukana (Pj)    : 1996 – 1999
11.    Sujono    : 1999 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH DESA BODE KABUPATEN CIREBON

ASAL USUL SEJARAH DESA BODE KABUPATEN CIREBON - Setelah masa bulan madu adiknya (kedua mempelai) sudah mencapai tujuh bulan, Panembahan Ratu ( Raja Cerbon ke-II) memerintahkan keduanya yaitu, Pangeran Wirasaba dan Nyi Mas Ayu Naindra Lamaran Sari, untuk segera membuka hutan dan mendirikan pedukuhan.

Pada hari Selasa pagi tanggal 1 Juli 1575 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 30 Rabi’ul Akhir tahun 995 Hijriyah, dengan didampingi oleh ibunya (Nyi Mas Wanawati Raras) dan adik kakeknya (Nyi Mas Gandasari) yang masih perkasa meskipun usianya sudah mencapai 75 tahun, yang sekaligus pula wakil dari Panembahan Ratu yang akan meresmikan pedukuhan dan melantik Kepala Dukuhnya, berangkat menuju hutan Wanajaya, dengan diikuti oleh dua regu prajurit keraton yang masing-masing dipimpin oleh Raden Bayabadra dan Raden Jumantri. Para prajurit inilah yang akan bekerja untuk membuka/menebang hutan yang luasnya hampir mencapai 5 hektar, menurut ukuran sekarang.

Dalam rombongan itupun ikut pula adik Nyi Mas Wanawati yaitu Pangeran Sedang Garuda atau yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mantro dan sahabat karibnya bernama Tuan Ahmad. Tuan Ahmad adalah seorang saudagar dari Arab yang juga seorang Da’i (penyebar Agama Islam). Kehadirannya atas restu dan atas permintaan Panembahan Ratu untuk membina umat Islam di wilayah baru itu.

Atas petunjuk dari Panembahan Ratu, rombongan ini memulai perjalanannya dari rumah Ki Gede Kaliwulu menuju hutan Wanajaya dengan menyelusuri Sungai Kaliwulu. Tempat utama yang dituju adalah tempat dimana dulu Mbah Kuwu Cerbon sholat dan bermunajat kepada Allah SWT, yaitu sebuah dataran yang agak tinggi, banyak ditumbuhi pohon rindang, berhawa sejuk, berair bening dan segar.

Rombongan terdepan adalah para prajurit yang berjalan kaki, diikuti keluarga keraton yang menaiki kuda berjalan pelan karena melewati pinggiran sungai yang masih banyak pepohonan liar, yang harus dibabad terlebih dahulu oleh para prajurit. Dan dibelakangnya ada putra Ki Gede Kaliwulu yang menjadi petunjuk jalan, yang berjalan sambil menuntun KERBAU BULE RAKSASA (Kebo Gede, Cirebon) hadiah pernikahan dari Panembahan Ratu. Selang beberapa waktu sebelum dhuhur, lokasi yang dicari sudah ditemukan, Nyi Mas Gandasari lalu naik ke dataran tinggi itu dan bersujud syukur ke hadirat Allah SWT.

Benar apa yang dikatakan ramanya, yaitu Mbah Kuwu Cerbon yang sekarang sudah wafat, bahwa tempat itu begitu sejuk dan airnya bening segar.

Usai sujud syukur, Nyi Mas Gandasari selaku pemimpin rombongan memerintahkan prajurit dan anggota rombongan lainnya untuk beristirahat. Seorang prajurit yang mungkin berasal dari Tegal memberitahukan kepada rekan-rekannya dengan mengucapkan : “ayo kabeh pada glelengan!” (mari semua pada beristirahat sambil tiduran), ucapan itu sampai terdengar oleh Nyi Mas Gandasari. Setelah itu beliau berkata : “Wahai sekalian, saksikan, bukit ini mulai sekarang aku beri nama Bukit Gleleng”.

Nama Gleleng sampai sekarang menjadi nama sebuah tempat pemakaman umum Si Gleleng. Sedang tempat berkholwatnya Embah Kuwu Cerbon dan tempat sujud syukurnya Nyi Mas Gandasari oleh masyarakat setempat diberi nama Maesan Watu, karena di tempat itu sekarang terdapat petilasan yang berupa kuburan atau makam yang bernisan dari batu.

Bukit Gleleng oleh Nyi Mas Gandasari dijadikan posko pembukaan hutan Wanajaya, sedangkan untuk tempat tinggal keluarga keraton dan para Prajurit dibuat bangunan rumah dan barak-barak di sebelah timur sungai. Lalu Nyi Mas Gandasari memberi nama lokasi itu dengan nama “UMAH RINTIS” yang berarti “Rumah Pertama”, masyarakat sekarang menyebutnya Tumaritis.

Pagi, hari Rabu tanggal 2 Juli tahun 1575 Masehi atau 995 Hijriyah, Nyi Mas Gandasari memimpin para prajurit menebang hutan disebelah barat Bukit Gleleng dan Nyi Mas Wanawati memimpin yang lain mengadakan dapur umum, Nyi Mas Ayu Naindra Lamaran Sari mengeluarkan periuk tanah besar (pendil gede, Cirebon) yang merupakan pemberian dari ibunya yang bernama Nyi Silih Asih. Pendil besar ini sangat unik, karena beras yang ditanak cepat masak dan nasinya mekar, seolah-olah nasi tersebut tidak habis-habis dimakan oleh semua anggota rombongan.

Sementara itu, Ki Gede Kaliwulu sibuk menjalankan tugasnya sebagai seorang ahli kayu, yaitu membikin bajak (weluku, Jawa) yang nantinya akan dipergunakan untuk membajak sawah yang luasnya hampir ± 5 hektar untuk ukuran sekarang. Bajak sengaja dibuat agak besar, karena yang akan menariknya adalah seekor kerbau bule raksasa. Panjang sawah yang akan dibikin rencananya adalah “sewu depa, Cirebon” atau lima ratus meter, sedangkan lebarnya tidak ditentukan, hanya saja bila nanti ditemukan sebuah saluran air maka penebangan dihentikan sampai disitu. Dua hari kemudian, hutan yang dipersiapkan untuk lahan sawah itu telah selesai dan bersih, tinggal dibajak saja.

Pagi, hari Jum’at tanggal 4 Juli 1575 Masehi Nyi Mas Gandasari mengistirahatkan prajurit-prajuritnya, karena mayoritas rombongan yang laki-laki itu akan melaksanakan sholat Jum’at. Setelah sholat Jum’at, pekerjaan pembajakan sawah segera dimulai. Pekerjaan ini sangat berat, karena dengan sebuah bajak harus menyelesaikan sawah yang luasnya hampir 5 hektar, dalam satu hari satu malam.

Hari Sabtu sore, saat waktu Ashar tiba, pembajakan sawah selesai sudah. Kerbau bule raksasa yang sangat perkasa dan berjasa itu sangat kelelahan dan kecapaian. Dan tanpa permisi kepada siapapun si kerbau pergi meninggalkan rombongan, berjalan ke arah selatan menyusuri sungai kecil yang merupakan batas sawah dan daratan di sebelah baratnya, hingga sampai ke mata airnya yaitu sebuah belik (mata air) yang sampai sekarang oleh masyarakat setempat belik itu diberi nama belik Ki Bean.

Kemungkinan karena terlalu lelah dan capainya, kerbau bule raksasa yang sangat perkasa dan berjasa itu berkubang sampai tertidur di tempat itu. Tanah belik yang dikubangi sang kerbau sampai amblas, hingga tapaknya sampai sekarang masih dapat dilihat (di Blok Kedunggondang, Desa Bode Lor)

Sementara itu, Nyi Mas Gandasari yang sedang berkumpul dengan seluruh rombongan, baru sadar bahwa sang Kerbau Bule Raksasa telah hilang entah kemana. Kerbau wasiat hadiah dari Panembahan Ratu itu jangan sampai hilang, apalagi dimakan binatang buas, Nanti apa kata Panembahan Ratu. Untuk itu harus dicari sampai dapat. Karena rencananya upacara peresmian pedukuhan dan pelantikan kuwu akan diadakan setelah sholat Isya, hari itu juga.
Setelah dicari ke seluruh sudut di lokasi itu, barulah datang salah seorang prajurit dengan tergopoh-gopoh menghadap dan melaporkan kepada Nyi Mas Gandasari, bahwa dirinya telah menemukan Sang Kerbau sedang berkubang sambil tertidur, entah masih hidup atau tidak. Mendengar laporan itu Nyi Mas Gandasari segera menuju ke tempat yang dimaksud oleh prajurit tersebut. Betul juga apa yang disampaikan oleh prajurit tadi, bahwa Sang Kerbau sedang berkubang sambil tertidur. Merasa ada tuannya datang di tempat itu, sang kerbau bule raksasa meninggalkan tempat itu.

Setelah sholat Magrib, Nyi Mas Gandasari mengumpulkan keluarga keraton dan memusyawarahkan mengenai apa nama pedukuhan yang telah dimulai penebangannya itu.

Hasil musyawarah menetapkan, karena jasa besar kerbau bule raksasa yang telah membajak sawah, dan untuk mengenang jasa kerbau bule raksasa tersebut maka untuk memudahkan penyebutannya, maka disingkat menjadi “ B O D E “ asal kata dari Kebo Gede. Kepala pedukuhannya disebut Ki Kuwu Bode, dan setelah pedukuhan ini berubah menjadi tanah perdikan, sebutan KiKuwu Bode – berubah menjadi Ki Gede Bode. Dan sawah yang baru dibuka itu yang merupakan tanah kelungguhan atau tanah bengkok untuk istilah sekarang diberi nama “SAWAH GEDE”.

Detik-detik yang ditunggu-tunggu telah tiba, yaitu pelantikan Kepala Pedukuhan. Gandasari berdiri di depannya menghadap ke arah barisan upacara tadi. Dibelakangnya berdiri sambil berbaris para keluarga keraton dan tak lupa sang kerbau bule raksasa yang gagah perkasa berdiri tegak disamping agak ke belakang Nyi Mas Gandasari.

Nyi Mas Gandasari menyampaikan pengumuman resminya :Wahai para prajurit, dengan disertai rasa syukur kepada Allah SWT, dengan ucapan Bismillahirrohmannirrrohim pada hari ini, Sabtu tanggal 5 Juli 1575 Masehi bakda Isya bertepatan dengan tanggal 4 Jumadil Awal tahun 945 Hijriyah, saya atas nama raja kerajaan Cerbon, Panembahan Ratu, meresmikan pedukuhan ini dengan nama “PEDUKUHAN BODE” dan melantik Pangeran Wirasaba sebagai Kuwu Bode pertama.

Setelah upacara pelantikan selesai, semua mengucapkan selamat. Dan bersama-sama mengadakan sujud syukur dan berdo’a agar “Bode” menjadi pedukuhan yang makmur, sentosa, sejahtera dan dikaruniai segala kebesaran Allah SWT.

Nyi Gede Bode yang memiliki benda pusaka pemberian dari orang tuanya berupa pendil adalah benar-benar berasal dari Losari dan merupakan keturunan langsung dari Pangeran Losari (Pangeran Angkawijaya).

Makam Ki Bayabadra di Blok Duan Sukun Kidul Bode Lor, merupakan bukti bahwa tokoh yang bernama Raden Bayabadra memang pernah ada dan tinggal di Bode sebagai orang penting.

Makam-makam Kuno yang tersebar di Wilayah Bode adalah para tokoh masyarakat Desa Bode.

Daftar nama-nama Kepala Desa

1. Para Penguasa Ki Gede Bode

No.    Nama Ki Gede    Jabatan    Periode
1    P. Wirasaba    Ki Gede Bode I    1575 – 1576
2    Nyi Mas Ayu Naindra
Lamaran Sari    Ki Gede Bode II    1576 – 1578
3    Dalem Wisesa Guna    Ki Gede Bode III    1578 – 1600
4    Dalaem Maha Guna    Ki Gede Bode IV    1600 – 1627
5    Dalem Mangga Guna    Ki Gede Bode V    1627 – 1651
6    Dalem Maya Guna    Ki Gede Bode VI    1651 – 1677
7    Suro Pelawan    Ki Gede Bode VII    1677 – 1682

2. Para Penguasa Pademangan Bode

No.    Nama Ki Demang    Jabatan    Periode

1    Ki Demang Suro
Pelawan    Ki Demang Bode I   
2    Ki Demang Widagada    Ki Demang Bode II    
3    Ki Demang     Ki Demang Bode III   
4    Ki Demang    Ki Demang Bode IV   
5    Ki Demang    Ki Demang Bode V   

No.    Nama Ki Demang    Jabatan    Periode

6    Ki Demang    Ki Demang BodeVI   
7    Ki Demang    Ki Demang Bode VII   
8    Ki Demang    Ki Demang Bode VIII   
9    Ki Demang    Ki Demang Bode IX   
10    Ki Demang    Ki Demang Bode X   
11    Ki Demang     Ki Demang Bode XI   

Baca Selengkapnya »

SEJARAH DESA BARISAN KABUPATEN CIREBON

ASAL- USUL SEJARAH DESA BARISAN KABUPATEN CIREBON - Di sebuah perkampungan di Batavia seorang perempuan setengah baya bernama Nyi Juriyah sedang asyik mencari udang kecil dipinggir pantai laut utara. Tiba-tiba dari kejauhan nampak ada sebuah benda berkilauan, ternyata setelah diamati benda itu berupa peti kaca. Perempuan itu penasaran, kemudian dihampirinya peti kaca itu. Alangkah kagetnya, ternyata setelah dibuka di dalamnya terdapat sesosok bayi mungil tampan dan disampingnya ada secarik kertas yang isinya adalah barang siapa yang menemukan bayi ini hendaknya dirawat dan dipelihara, sebab bayi ini adalah keturunan sultan Solo.

Nyi Juriyah tanpa pikir panjang lagi peti kaca itu dibawanya ke pondoknya. Dengan penuh kasih sayang bayi itu di besarkan dan diberi nama Jaka Lautan. Semakin hari Jaka Lautan semakin tumbuh menjadi seorang pemuda tampan dan gagah.

Nyi Juriyah yang sehari-harinya jualan terasi di pasar, begitu bangga kepada anak angkatnya itu. Selain tampan juga rajin membantu ibunya ke pasar. Pada suatu hari sewaktu Jaka Lautan mengantar ibunya ke pasar, pulangnya menemukan badik. Dan badik itu terus dirawat sampai keluar pamornya, kemudian badik itu dinamai badik emas.

Ikhwal ada seorang penduduk yang memiliki anak angkat yang berwajah tampan sampai juga ke telinga penguasa Batavia saat itu, yaitu Gubernur Jendral dan puterinya nona Suzanna. Nyi Juriayah kemudian dipanggil dan diminta supaya anak angkatnya mau diserahkan dan tinggal bersama keluarga Gubernur Jendral Batavia. Apa hendak dikata dengan terpaksa Jaka Lautan diserahkan oleh ibu angkatnya kepada Gubernur Jendral Batavia.

Dengan perasaan sedih kemudian Nyi Juriyah pergi meninggalkan mereka kembali menjadi pedagang terasi. Betapa senangnya Nona Suzanna, sebab diam-diam ternyata mulai tertarik kepada ketampanan Jaka Lautan. Gayung bersambut, ternyata Jaka Lautan pun begitu mengagumi kecantikan Nona Suzanna puteri Gubernur Jendral Batavia itu.

Kegemaran Jaka Lautan yaitu bermain judi menjadikan keberuntungan bagi keluarga Gubernur Jendral. Kekayaannya semakin bertambah karena selalu menang dalam bermain judi. Kemudian Jaka Lautan namanya diganti menjadi Raden Untung.

Meskipun Nona Suzanna sudah dijodohkan dengan Ibru Brahman, tetapi setelah kehadiran Raden Untung hatinya mulai berpaling. Kemana-mana senantiasa berdua hingga pada suatu ketika mereka ketahuan oleh Gubernur Jendral Batavia. Betapa marahnya beliau dan Raden Untung dimasukan kedalam penjara sebagai pelajaran karena telah berani berhubungan dengan Nona Suzanna.

Di dalam penjara Raden Untung satu sel dengan tawanan dari Karawang, Banten dan Indramayu. Mereka adalah pemberontak yang merongrong pemerintahan Belanda. Selain itu ada juga pemberontak berbangsa Cina yang bernama Babah Bujana Dria dan Babah Bujanapati dari daerah Losari.

Betapa sedihnya Nona Suzanna melihat buah hatinya berada dalam penjara. Kekuatan cintanya mengantarkan dirinya untuk membantu mengeluarkan Raden Untung dari penjara. Setelah bebas dari penjara Raden Untung membantu membebaskan tawanan lain. Mereka sepakat bergabung dengan Raden Untung untuk melawan penjajah Belanda. Mengetahui tawanan pada kabur, tentara Belanda melakukan pengejaran, kemudian terjadilah pertempuran yang tidak seimbang. Pasukan Raden Untung mundur dan lari menuju Cirebon.

Gubernur Jendral Batavia begitu geram kepada Raden Untung, beliau memerintahkan Sultan Aji di Cirebon untuk menangkap Raden Untung dan antek-anteknya. Mendapat tugas itu Sultan Aji ragu sebab Raden Untung masih sedarah. Kemudian Sultan Aji memerintahkan Surapati untuk mencari Raden Untung agar lari menuju ke Losari, sebab di Cirebon Raden Untung dalam bahaya. Surapati tidak mengindahkan perintah Sultan, sebab ternyata Gubernur Jendral Batavia menjanjikan imbalan yang menggiurkan seandainya dapat menangkap Raden Untung.

Surapati dan pasukannya berhasil menghadang Raden Untung, kemudian terjadilah pertempuran yang sengit, pasukan Surapati terdesak dan lari ke keraton Cirebon. Sultan Aji kaget melihat keadaan menjadi kacau dan menanyakan kepada Raden Untung yang berhasil memasuki Keraton Cirebon. Dijelaskan oleh Raden Untung bahwa Surapati berhianat dan memihak Belanda. Mendengar laporan itu Sultan Aji marah, kemudian Surapati dibunuh. Dari peristiwa ini Raden Untung namanya diganti menjadi Raden Untung Surapati. Pasukan Belanda yang dipimpin Ibru Brahman tiba di Cirebon untuk mencari Raden Untung Surapati, tapi ternyata sudah lolos dan lari menuju Cirebon bagian timur. Pasukan Belanda terus mengejar ke daerah timur, sementara Raden Untung Surapati menggalang kekuatan dari berbagai penjuru dan berbagai kalangan termasuk bangsa Cina. Mereka dilatih baris berbaris seperti militer untuk persiapan menghadapi pasukan Ibru Brahman.

Di wilayah Losari bagian selatan inilah tempat para pejuang pimpinan Raden Untung Surapati melakukan latihan perang. Dari kata baris berbaris atau membuat barisan perang inilah kemudian daerah ini dinamai Desa BARISAN. Setelah sekian lama pasukan Raden Untung Surapati melakukan latihan militer, diceriterakan bahwa mereka mampu memberikan perlawanan yang sengit terhadap tentara Belanda.

Dalam pemerintahan sekarang Desa Barisan berada di wilayah Kecamatan Losari.
Penduduknya selain mengandalkan dari pertanian dan melaut, juga tumbuh dan berkembang kesenian-kesenian tradisional seperti Berokan, Burok dan Tari Topeng gaya Losari

Adapun nama-nama kuwu yang diketahui adalah :
1.    Sodikin     : 1985 – 1988
2.    Tjarmudi    : 1988 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH DESA BALAD KABUPATEN CIREBON

ASAL USUL SEJARAH DESA BALAD KABUPATEN CIREBON - Desa Balad luas wilayah 90.030 Ha, ketinggian tanah diatas permukaan laut ± 170 m, terdiri dataran rendah, suhu udara rata-rata     32ยบ C, jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan 1 km, jarak dari ibu kota Kabupaten arah barat 7 km, jarak dari ibu kota Provinsi 125 km.

Pada tahun 2006 jumlah penduduk 4.416 orang, terdiri dari laki-laki 2.307 orang dan perempuan 2.307 orang. Jumlah Kepala Keluarga (KK) 1.015 KK, warga negara Indonesia (WNI) 4.416 orang (100 %), penganut agama Islam 4.416 orang (100 %). Sebagian besar mata pencaharian petani, adapula pedagang, tukang kayu dan pengrajin.

Asal mula balad (Desa Balad) berarti wadah yaitu tempat menampung, tempat berkumpul , sedangkan arti yang lain balad berasal dari kata bala yang berarti prajurit, pasukan perang kerajaan. Jadi Balad berasal dari kata Wadah/Wadia bala/Bala Tentara yang mengandung arti tempat penampungan atau berkumpulnya para wadia bala, bala tentara yakni prajurit perang kerajaan, tetapi ada lagi yang mengatakan nama balad diambil dari asal kata Balad, bahasa Arab yang berarti “Negara”, karena identik dengan tempat berkumpulnya para wali, para sesepuh, sultan dari kesultanan Cherbon serta tempat berkumpulnya para wadia bala gabungan (para prajurit perang kerajaan) Demak, Kunimgan dan Kerajaan Cherbon pada waktu terjadinya perang Raja Galuh dengan Kerajaan Cerbon.
Pada jaman dahulu Balad termasuk wilayah pasanggrahan Waru Gede, yaitu kekuasaan Nyai Mas Pakungwati.

Pada tahun 1470 M, Syarif Hidayatullah dari putra Sultan Hud (Syarif Abdullah) negri Mesir sampai di bumi Cherbon, selang satu tahun kedatangannya di bumi Cherbon, beliau menikah dengan Nyai Babadan putri Ki Gedeng Babadan penguasa sasal Galuh. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan Nyai Kawung Nganten, adik dari Bupati Banten. Pada tahun 1478 M beliau Syarif Hidayatullah menikah dengan putri kesayangan Pangeran Cakra Buana yaitu Nyai Mas Pakungwati, Nyai Mas Pakungwati memiliki kepribadian terpuji, tutur kata, sikap prilaku dan perbuatannya menunjukkan keteladanan hidup bagi seorang wanita di usia dan pada zaman itu. Pada tahun 1481 M, Syarif Hidayatullah menikah dengan Ong Tian putri Kaisar Yu Wang Lo, berasal dari Cina, kemudian berganti nama Ratu Mas Rara Sumanding, tahun 1485 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyai Lara Bagdad, adik dari Syarif Abdurahman (Pangeran Panjunan) yang  masih ada garis keturunan dengan Syarif Abdullah, ayahanda Syarif Hidayatullah dan Syarif Hidayatullah menikah lagi dengan Nyai Tapasari, putri Ki Gedeng Tapasari pembesar Majapahit. Dari pernikahannya itu beliau dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean).

Bertitik tolak dari permasalahan rumah tangga inilah maka Nyai Mas Pakungwati memutuskan pergi meninggalkan dan keluar dari Keraton Cherbon menuju ke Banten untuk mencari ketenangan lahir dan bathin dengan membawa emban atau pawongan (pembantu) yang setia mendampingi dalam perjalanannya. Setelah beberapa lama di Banten beliau kembali ke Cherbon, namun sekembalinya dari Banten tidak langsung ke keraton Pakungwati tapi singgah di sebuah pedukuhan Duku Demit (Cidemit). Di Duku Demit saat itu ada seorang kyai yang sedang babad alas (notor hutan) yaitu Ki Maujud (Ki Gede Waru) dari Pajajaran Pulasara. Dengan kedatangan Nyi Mas Pakungwati bersama pawongannya di Duku Demit, Ki Maujud menyambutnya dengan suka hati. Walau demikian, Ki Maujud tidak ada terlintas di hati kecilpun untuk menggoda Nyai Mas Pakungwati yang cantik jelita dan berbudi luhur itu. Karena Ki Maujud tahu bahwa yang datang menemuinya itu adalah seorang Srikandi putri Pangeran Cakrabuana, permaisuri Kanjeng Sinuhun Cherbon.

Ketika sedang berada di Cidemit, pawongan Nyai Mas Pakungwati yang selalu setia itu sedang hamil tua akan melahirkan sambil mencari dukun bayi, maka beliau berjalanlah kearah selatan sampai di suatu tempat, pawongan tadi melahirkan bayi kembar dua. Beberapa hari tinggal di tempat itu sambil mengayun bayi dianatar pepohonan di sekitar tempat itu (50 m) kearah utara komplek Mak Baroh Syekh Umar Al Faqih disebut kebuyutan Kramaat Duku Malang (sekarang sudah dijadikan perumahan penduduk).

Dari kebuyutan Kramat Duku Malang berjalan kearah barat sambil mencari air Duku Malang, ada orang ditanya tidak mau menjawab, malah pada pergi menghindar, terus ke utara ada orang lalu bertanya dimana ada air atau sumber air ternyata orang tadi memberitahukan dan menghantarkan sampai ke sumber air (Sumur Balad sekarang), akhirnya Nyai Mas Pakungwati berucap, kelak di tempat ini akan ada 7 sumber mata air yang tidak akan mengalami kekeringan (yaitu di sekitar Desa Balad ada 7 (tujuh) sumber mata air sampai sekarang); dan perjalanan diteruskan kearah barat, utara sampai ke sebuah gubug panggung dan singgah untuk istirahat. Dengan kehadiran Nyai Mas Pakungwati, di tempat itu menjadi harum namanya (banyak orang membicarakannya), sehingga disebut orang manggung wangi (Girinata sekarang). Perjalanan diteruskan kearah timur sampai ke sungai, beliau dalam keadaan hati rundung (gundah gulana) disebut sungai Cirundung (Kepunduan sekarang) dan terus kembali ke pasanggrahan Waru Gede. Setelah Nyai Mas Pakungwati berada di pasanggrahan Waru Gede, Ki Maujud yang wujud badan/raga ada di pasanggrahan, tapi sukmanya berada di Cherbon menghatur kepada Kanjeng Sinuhun Syarif Hidayatullah, memberi kabar bahwa Nyai Mas Pakungwati “garwa dalem panjenenganipun” sekarang ada di Pesanggrahan Waru Gede (4 km arah selatan Palimanan).

Kanjeng Sinuhun mengajak Nyai Mas Pakungwati untuk kembali ke keraton Cherbon, Nyai Mas Pakungwati dengan halus menolak untuk diajak kembali pulang ke keraton Cherbon, Kanjeng Sinuhun bertanya kepada Nyai Mas Pakungwati “apa ada sesuatu hal yang kurang berkenan di hati Nyai Mas Pakungwati tinggal di keraton?”. Nyai Mas Pakungwati menjawab “tidak ada” Nyi Mas hanya ingin tinggal menetap di pasanggrahan Waru Gede ini karena di sini hati Nyi Mas merasa lebih senang, lebih tenang dan lebih aman dan tentram. Kemudian Kanjeng Sinuhun mengambil sebutir telor untuk di kandut di perut bagian pusar Nyi Mas, ternyata telor tersebut menjadi mateng (masak), bearti Nyi Mas sedang rundung panas hati kata sinuhun.

Karena Nyi Mas ingin menetap untuk tinggal di pasanggrahan Waru Gede, maka Kanjeng Sinuhun-pun mengijinkannya dan segala hal yang akan dibutuhkan oleh Nyi Mas beliau datangkan dari  keratin Cherbon seperti alat-alat, dayang-dayang keraton untuk merawat, membantu dan mengurusi Nyi Mas Oakungwati. Para Senopati dan Wadia Bala (bala tentara) secukupnya untuk mengawal dan menjaga keamanan, segala halang rintang para dedemit, bangsa siluman di berbagai tempat ditundukkan, di Kedoya , Cidemit dan lain tempat ditertib amankan.

Babad alas (penotoran hutan) yang telah dilakukan Ki Gede Waru Ki Maujud pada saat itu belumlah meluas, hanya sebatas kemampuan alat yang digunakan sehingga Nyi Mas Pakungwati berinisiatif membabat alas dengan cara membakar alas. Ternyata hasilnya tidak terkirakan dan tidak terbatas, hutan yang dibakar sampai ke Padabeunghar kecuali di gunung Lingga/Linggahi (di sana  ada orang Cina Cang Kong Wak = Cangkoak)
Wilayah pasanggrahan Waru Gede dari hasil bakar hutan dan penotoran hutan meliputi: pesanggrahan Waru, Kepunduan, Kedoya, Balad, Cangkoak, Dukupuntang, Cikalahang dan Padabeunghar.

Kala waktu perang Rajagaluh, Dukuh Demit atau Cidemit adalah tempat strategis tempat persinggahan/istirahat untuk menunaikan ibadah sholat, bahkan tempat berkumpulnya para wali (ket. K.H. Fuad Hasyim – Buntet). Para wadia bala, bala tentara gabungan baik wadia bala yang dipimpin oleh Pangeran Trenggono dari Demak, wadia bala dari Kuningan yang dipimpin Pangeran Arya Kemuning dan Adipati Kuningan maupun wadia bala dari Keraton Cherbon yang dipimpin oleh Mbah Kuwu Sangkan, Sunan Kalijaga, Pangeran Karang Kendal, Pangeran Salingsingan dan Nyi Mas Gandasari. Berkumpul di Cidemit, selanjtnya disebut Balad. Untuk mengatur siasat dan berbagai persiapan, perlengkapan dan penyerangan ke medan pertempuran menghadapi wadia bala Rajagaluh yang dipimpin para panglima kerajaan Patih Kiban, Arya Gempol, Arya Sutem, Sanghiyang Sereh, Ki Gede Leuwimunding dan Pangeran Purbaya (diakui nara sumber Bobos). Pasukan Galuh berangkat ke medan pertempuran yang telah ditentukan kerajaan Galuh yaitu Desa Cipanas (sekarang). Maka terjadilah pertempuran yang sengit antara wadia bala gabungan Demak, Kuningan, Cherbon. Pertempuran terus berlangsung dari Cipanas ke Bobos, Girinata, Gempol, Gunung Gundul,Palimanan. Akhir pertempuran, Raja galuh kalah perang dan digabungkan kepada Cherbon pada tahun 1528 M.

Duku Demit atau Cidemit menjadi wadah (wadia bala) yakni tempat penampungan, berkumpul para prajurit, bala tentara (prajurit perang kerajaan) dari berbagai daerah tempat untuk mengatur strategi penyerangan. Cidemit juga tempat pertemuan berkumpulnya para wali, sesepuh Cherbon untuk musyawarah mengenai penyiaran agama islam. Selanjutnya istilah wadia bala atau bala tentara menjadi Balad.

Balad bagian dari wilayah Nyi Mas Pakungwati tinggal dan menetap di pasanggrahan Waru Gede bersama para senopati dan pengawalnya sampai wafatnya dimakamkan di komplek Astana Waru termasuk makam anak kembar pembantunyaaa berada di sekitar pintu masuk, Lawang Gede (gapura).

Pasanggrahan Waru Gede diteruskan oleh Buyut Impon kemudian diserahkan kepada menantunya yaitu Buyut Syuaeb. Buyut Syuaeb berputra Syekh Abdurahim (Buyut Siti) dan Abi Dar (Buyut Dar). Buyut Impon tinggal di Depok berputra Ki Tabroni, Nyai Nur Mahali (istrinya Buyut Syuaeb), Nyai Syariah, Nyai Kodijah (istrinya Ki Rumli Balerante) dan Nyai Nurjali (di Balad). Setelah istrinya wafat Buyut Impon kembali ke Pasanggrahan Waru Gede sampai wafat dimakamkan di Priuk (100 M arah barat komplek astana Waru Nyai Mas Pakungwati.

GEGER BUMI CHERIBON
Sepeninggal Panembahan Ratu Akhir atau Panembahan Adiningkusuma disebut pula Panembahan Girilaya (1667 M). Kesultanan Cirebon dibagi menjadi tiga, yakni Kasepuhan dengan Sultan pertama Sultan Abul Makarim Samsudin (Pangeran Mertawijaya), Kanoman dengan Sultan pertama Sultan Abul Manakhir Badridin atau Sultan Gusti (Pangeran Kartawijaya) dan Kapanembahan dengan Panembahan pertama Panembahan Cerbon Abdul Karim Im Nasharudin yang dikenal dengan sebutan Pangeran Wengsakerta.

Sultan Kasepuhan I (Pangeran Mertawijaya) berputra dua orang yaitu Pangeran Dipati Anom Tajul Arifin Jamaludin dan Pangeran Arya Carbon, Pangeran Dipati Anom Tajul Arifin Jamaludin berputra Sultan Sepuh Moh. Asikin Jamaludin, berputra Sultan Sepuh Rajasena Moh. Jaenudin, berputra Sultan Sepuh Raja Moh. Sofiyudin matangaji.

Sultan Sepuh Raja Moh. Sofiyudin Matangaji diangkat menjadi Sultan Kasepuhan masih anak-anak umur 11 tahun, kemudian beliau belajar di pondok pesantren mendalami ilmu tasyawuf, setelah dewasa sekitar umur 20 tahun, beliau kembali ke kraton, di kraton sudah diangkat oleh colonial Belanda sebagai pengganti Sultan Sepuh dari pejabat keraton Kesepuhan yaitu Mangkubumi yang bernama Ki Muda Mas Muda.

Dengan wafatnya Sultan Sepuh I Pangeran Martawijaya (Pangeran Syamsudin) atas dasar pribawa kompeni Belanda, maka sebagai ganti adalah ditempati oleh adiknya yaitu Sultan Anom Kartawi Jaya (Badridin). Adapun Wangsa Kerta adik dari Sultan Anom Kartawi Jaya menduduki derajat tertinggi. Panembahan Cheribon Wangsakerta menduduki derajat kedua putra almarhum Sultan Sepuh Martawi Jaya yaitu Pangeran Dipati Anom Tajul Arifin Jamaludin dan Pangeran Aria Cheribon Sultan Sepuh Abi Mukaram Kaharudin bersama-sama menduduki derajat ketiga.

Pada tahun 1702 Sultan Anom Kartawijaya (Badridin) wafat, maka dua tahun berikutnya diadakan peraturan yang baru. Panembahan Cheribon Wangsa Kerta saudara bungsu dari dua orang Sultan yang meninggal itu dia menempati derajat tertinggi, derajat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh Marta Wijaya dan derajat ketiga ditempati putra Sultan Anom Kartawi Jaya (Sultan Badridin).

Pada tahun 1708, kompeni turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan derajat dari ketiga cabang keluarga kerajaan. Setelah Panembahan Wangsa Kerta wafat tahun 1713 M, maka sekitar tahun 1715 – 1733 M berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki derajat kerajaan. Dari masalah derajat inilah maka dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki derajat tertinggi (Sultan) selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut, terjadi perselisihan yang terus menerus tanpa henti-hentinya satu sama lain dan kejadian  ini mempercepat hancur dan hilangnya wibawa Keraton Cheribon.

Pada tahun 1792, umbgrove selaku Residen berpendapat bahwa dipandang perlu untuk mengurangi jumlah Pangeran dan Ratu serta mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat. Tahun 1808, Gubernur Jendral Belanda Deandels merombak susunan tata praja, yaitu:
1.    Pergantian Sultan Cheribon dicampur tangani oleh pemerintahan koloni Belanda
2.    Raja-raja akan digaji oleh Belanda dan tidak boleh mengambil pajak dari rakyat
3.    Adipati yang menguasai Kadipaten diganti menjadi Bupati yang menguasai Kabupaten dan digaji oleh Pemerintah Belanda
4.    Ki Gede atau Ki Ageng diganti menjadi kuwu dan diberi bengkok.

Pada akhir abad ke 18 terjadi berbagai peristiwa yaitu kelaparam, kerusakan, wabah dan emigrasi masal. Keadaan di Keraton Cheribon sangat kritis akibat konflik intern keluarga kraton situasi kelam terjadi pada tahun 1793, ketika putra Sultan Cheribon (awal) yang dibuang ke Maluku 1768 kembali dan melakukan perlawanan terhadap koloni Belanda. Sultan Anom yang sudah lanjut usia wafat tahun 1798 digantikan oleh bukan putra mahkota melainkan oleh orang lain. Hal ini menimbulkan kekacauan yang dilakukan orang-orang Bumi Cheribon. Pada tahun 1802 banyak orang-orang China terbunuh. Akibatnya putra mahkota Raja Kanoman ditangkap dan dibawa ke Batavia. Ribuan wong Bumi Cheribon mengadakan perlawanan di Jati Negara Batavia, dan diteruskan ke Karawang. Raja Kanoman dibuang ke Ambon.

Ketika Deandels menjadi gubernur jendral pada tahun 1808 raja Kanoman dikembalikan ke Cheribon atas desakan para ulama , Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan Kacheribonan (akhir) gelar sultan sejumenenge selanjutnya keturunan setelahnya bergelar Raja Madenda.

Pada masa pemerintahan Inggris Letnan Gubernur TS. Raffles (1811 – 1816) mula-mula para sultan Cheribon dibiarkan statusnya sebagai pegawai, tapi tahun 1815 mereka dipensiunkan dengan menerima uang pensiun 8.000 rds. Sejak itu para sultan Cheribon hanya berstatus sebagai pemangku adat di Cherbon.

Pada tahun 1816 sampai dengan tahun 1818 M terjadi Geger Bumi Cheribon, Cheribon membara yaitu perlawanan masyarakat pribumi Cheribon terhadap kewenang-wenangan  penjajah kompeni Belanda. Dibawah pimpinan Pangeran Surya Negara, Pangeran Suryaja Negara (Pangeran Arya Janegara), Ki Bagus Rangin, Ki Bagus Serita, Ki Arsitem, yang dikenal sebagai perang Kedongdong (kompeni Belanda menyebutnya pemberontakan Cheribon). Para Ki Ageng, Ki Gede, para kuwu dan masyarakat hampuir di seluruh wilayah Bumi Cheribon turut berperan aktif membantu perjuangan melawan kompeni Belanda dan orang-orang keraton yang diangkat dan bergabung dengan kompeni Belanda baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.

Perang Kedongdong adalah cikal bakal meletusnya perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro tahun 1825 sampai dengan tahun 1830 M.

Sultan Dawud Firdaus adalah saudara Sultan Dahlan (fersi Ki Munawir Pekandangan Indramayu). Pangeran Dawud Firdaus yang dikenal sebagai Ki Gedeng Balad adalah salah satu pemimpin di baris depan dalam perang Kedongdong (Keterangan almarhum sesepuh Tangkil). Ki Gedeng Balad, para Sultan, Pangeran, Kuwu-Kuwu dan para wadia bala perang Kedongdong terus dikejar-kejar oleh kompeni Belanda dan orang-orang dalam keraton yang bergabung dengan Belanda. Para pejuang pribumi Cheribon bersembunyi di berbagai tempat dan daerah, di Rajagaluh tepatnya di Lengkong, Gunung Pekuon dan Cicebak. Para wadia bala dari Majalengka, Dermayu menggabung dengan pribumi Cherbon mengambil tempat berkumpul di Balad, karena di Balad tempat strategis untuk mengatur siasat peperangan sampai meletusnya perang Diponegoro (keterangan Tokoh Masyarakat Balad, H. A. Busyaeri).

Pada tahun 1816 sampai dengan 1818 M terjadi geger bumi wong Cheribon, Cheribon membara yaitu perlawanan masyarakat pribumi terhadap kesewenang-wenangan penjajah kompeni Belanda. Dibawah pimpinan Pangeran Surya Negara, Pangeran Aryajanegara, Ki Bagus Rangin, Ki Bagus Serita, Ki Arsitem, yang dikenal sebagai perang Kedongdong (kompeni Belanda menyebutnya pemberontakan Cheribon). Para Ki Ageng, Ki Gede para Kuwu dan masyarakat haampir di seluruh wilayah bumi Cheribon turut perperan aktif membantu perjuangan  melawan kompeni Belanda dan Orang-orang keraton yang diangkat dan bergabung dengan kompeni Belanda baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi.

Perang Kedongdong adalah cikal bakal meletusnya perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro tahun 18254 sampai dengan tahun 1830 M

Sultan Dawud Firdaus adalah saudara Sultan Dahlan (versi Ki Munawir Pekandangan Indramayu). Pangeran Dawud Firdaus yang dikenal sebagai Ki Gedeng Balad adalah salah satu pemimpin di baris depan dalam perang Kedongdong (keterangan almarhum sesepuh tangkil). Ki Gedeng Balad, Para Sultan, Pangeran, kuwu-kuwu dan para wadia bala perang Kedongdong terus dikejar-kejar oleh kompeni Belnda dan orang-orang dalam keraton yang bergabung dengan Belanda. Para pejuang pribumi Cheribo bersembunyi di berbagai tempat dan daerah, di Rajagaluh tepatnya di Lengkong, Gunung Pekuon dan Cicebak. Para wadia bala dari Majalengka, Dermayu menggabung dengan pribumi Cheribon mengambil tempat berkumpul di Balad, karena Balad tempat strategis untuk mengatur siasat peperangan sampai meletusnya perang Pangeran Diponegoro (keterangan Tokoh masyarakat Balad H.A Busyaeri).

Untuk menghindari pengejaran dan pencaharian dari kompeni Belanda dan para pejabat keraton antek-antek Belanda, maka nama-nama gelar kebangsawanan seperti Sultan, Pangeran, Raden dan lainnya menjadi nama-nama masyarakat biasa seperti Buyut, Rama sepuh, Kanjeng Rama, Gustu, Bagus, Bagus Rangin, Bagus Serit, Ki Arsitem, Ki Karsiem, Ki Kulur, Ki Kinten, Ki Jabin dan lain-lain berbaur dengan masyarakat dan menjadi masyarakat biasa tanpa menyandang gelar kebangsawanannya.

Sultan Daud Frirdaus adalah keturunan Sultan Cherbon menantu Syeh Abdurahim (Buyut Siti) dukuh pesantren Balad. Beliau diangkat menjadi sesepuh dan disebut Ki Gedeng Balad. Dalam perang Kedongdong beliau gugur sebagai syuhada bersama para pejuang lainnya, dan dikebumikan di Balad.

Terejadinya Cherbon membara dengan sebutan lain “Perang Kedongdong”, dilatar belakangi :
1.    Ketidakberdayaan sultan-sultan Cheribon atas pribawa kompeni Belanda yang selalu turut campur dalam masalah-masalah intern keluarga keraton terutama dalam pergantian dan pengangkatan tinggi rendahnya derajat gelar sultan/putra mahkota sebagai pengganti ayahandanya.
2.    sebaqgai bentuk perlawanan ketidakadilan para sultan Cheribon atas penggeseran dan pengangkatan oleh Pemerintah Belanda terhadap sultan atau putra mahkota yang tidak diberi hak sebagai pengganti sultan dari ayahandanya bahkan mereka diperlakukan tidak adil, dirampas hak-haknya sebagai sultan/putra mahkota, ada yang dibuang ke Maluku, Ambon, bahkan berusaha untuk dibunuh.
3.    Akibat pengangkatan yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda terhadap para pejabat keraton Cheribon sebagai sultan yang bukan haknya, maka karena peristiwa ini 3.500 Ha tanah keraton Cheribon dijabel/dirampas oleh Pemerintah Belanda (keterangan PR Keprabonan-Herman) karena mereka meminta bantuan kekuatan dan perlindungan kepada kompeni Belanda.
4.    Kekuasaan atau ruang gerak sultan-sultan Cheribon dipersempit.
5.    Adanya upeti/pancen yang dibebankan kepada rakyat dan adanya rodi (kerja paksa).
6.    Kewenang-wenangan pihak TiongHoa/orang-orang Cina yang statusnya naik jadi kelas 1 yang dipercaya oleh Kompeni Belanda untuk memungut pajak kepada rakyat bersama kompeni/Pemerintah Belanda.

Geger Bumi Cheribon diawali dari Jatinegara Batavia (Jakarta sekarang), Karawang, Eretan, Kandanhaur dengan pembakaran tempat atau gudang-gudang Belanda di berbagai daerah seperti: Gudang Garam, Gudang Kopi, di hutan Tomo Sumedang dan di tempat-tempat lainnya.
Nama-nama tokoh yang terlibat dalam Perang Kedongdong adalahPangeran Daud Firdaus, Kanjeng Rama, Rama Gusti, Rama Sepuh, Buyut Kinten, Ronodiwongso, Ki Kulur, Kuwu Sarman, di Buntet dipimpin oleh Kyai Koyim dan Pangeran Raja Kanoman, Ki Ardi Sela (Pangeran Ardi Sela Tuk Muara Bengkeng).

Adat istiadat dan tradisi Islami
-    Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Di setiap blok, masjid desa maupun disetiap mushola bahkan di warga masyarakat.
-    Memperingati Isro’mi’raj Nabi Muhammad SAW dengan mengadakan tablig akbar.
-    Memperingati malam nisfusa’ban setiap tanggal 15 di bulan sa’ban
-    Tahlilan/tahlil akbar, jam’iyah, salawat,jamiyah hadad, jamiyah yasin dan jamiyah waki’ah pada tiap-tap malam tertentu dalam setiap minggu.
-    Memitu
-    Melaksanakan acara tahlil 7 hari, 40 hari, 100 hari dan nyewu (1000 hari) bagi keluarga yang kematian.
-    Tahlilan pada malam hari bagi orang yang akan buka “teki”, akan membangun rumah pagi harinya.
-    Walimatul hitan, walimatul arusy dan lain-lain
-    Sedekah makaman setahun sekali di tiap komplek makam.

Nama-nama tempat peninggalan karuhun yang perlu dijaga kelestriannya
1.    Komplek Makam Pangeran Daud Firdaus bersama para kerabat keluarga keraton Cheribon lainnya di Blok Pesantren
2.    Komplek Makam Pangeran Fatma Negara, Pangeran Kresna, Pangeran Surya Negara dan para Pangeran lainnya di Blok Pesantren
3.    Sumur Balad di Blok Pesantren
4.    Komplek Makam Sultan Mulyana, Raden Papak, Pangeran Arya, Pangeran Surya, Pangeran Jaya Kusuma dan para Pangeran yang belum diketahui nama-namanya karena telah dibongkar dijadikan pesawahan di Blok Cidemit.
5.    Sumur Jaya kejayaan di Blok Cidemit
6.    Tapakan Ki Gedeng/Ki Ageng Raga Payon di Blok Cidemit
7.    Watu Celek peninggalan kuno di Blok Cidemit
8.    Komplek Buyut Bandung, Pangeran Suta, Buyut Maryam, para sesepuh dari Trusmi di Blok Cidemit
9.    Sumur Wungu, Sumur Salam, Sumur Glompok di Blok Cidemit
10.    Gua Lingsang di Blok Cidemit
11.    Komplek Makam (tapakan) Pangeran Arya Kemuning dan makam-makam panjang di Blok Jamaika
12.    Sumur Kemulyan di Blok Jamaika
13.    Makam Nyai Syarifah di Blok Jamaika
14.    Komplek Buyut Besus dan makam keluarga besar karuhun dari Waru di Blok Pete
15.    Komplek Makam Wali Pancing, Pangeran Kusuma Hasan dan komplek makam keluarga besar Pangeran Harunawijaya, Pangeran Rogawa di Blok Desa
16.    Sumur Kemulyan di Blok Desa
17.    Komplek Makam Buyut Jayem di Blok Agung

Nama-nama Ki Ageng atau Ki Gede
1.    Ki Ageng/Ki Gedeng Raga Payon
2.    Ki Gedeng/Ki Gede Balad

Nama-nama-kuwu yang diketahui diantaranya
1.    Rajab    : 1860 – 1890
2.    Sinta    : 1910 – 1920
3.    Karib/Haji Sidik    : 1920 – 1930
4.    Sanjum    : 1930 – 1945
5.    Jamad (H Abdur Rasid)    : 1945 – 1960
6.    Haji Abdul Hadi     : 1960 – 1980
7.    R. Parida Tajudin    : 1980 – 1990
8.    Haji Abdul Wahab    : 1990 –  1998
9.    Abdul Malik (Pjs)    : 1998 – 2001
10.    Haji Abdul Wahab    : 2001 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH DESA ASTAPADA KABUPATEN CIREBON

ASAL USUL SEJARAH DESA ASTAPADA KABUPATEN CIREBON - Seperti kita ketahui Pangeran Gesang atau Ki Gede Gesik banyak menurunkan penguasa-penguasa lokal anatara lain Nyi Mertasari yang menjadi penguasa Gegesik, Ki Jagabaya penguasa Jagapura, Ki Sumirang yang menjadi gegeden Bayalangu, Ki Baluran sebagai Ki Gede Guwa. Seorang lagi lainnya adalah Ki Gede Astapada penguasa Astapada. Letak Astapada sendiri persis di sebelah selatan Desa Gesik, jadi tidak seperti saudaranya yang harus terpisah dari ayah tercinta. Sebagaimana Ki Gede Gesik adalah dikenal sangat perwira lagi sakti.

Dalam sebuah tradisi tutur yang berkembang di Desa Astapada, bahwa pada suatu waktu Ki Gede Astapada diundang dalam sebuah acara oleh Kerajaan Demak kemungkinan besar Bulan Maulud sebagai salah seorang undangan sudah sepantasnya diperlakukan dengan baik, akan tetapi justru sebaliknya. Keberadaannya seakan dipandang sebelah mata oleh orang-orang Demak, Mungkin secara tata kenegaraan ia hanya seorang penguasa desa di Kerajaan Cerbon. Hal tersebut membuat ia merasa tersinggung, telah terjadi pelecehan bukan hanya dirinya pribadi tapi juga terhadap Kerajaan Cerbon yang ia jungjung.

Baginya tak ada cara lain, orang Demak harus diberitahu seperti apa sepantasnya kerajaan sebesar Demak memperlakukan tamunya dan apa balasannya jika tidak menghormati tamu atau utusan negara sahabat. Maka dengan kesaktiannya ia membawa sumur yang menjadi sumber air untuk memasak dan mencuci seluruh perlengkapan acara tersebut. Persis malam sebelum acara puncak, digendongnya sumur itu dari Demak ke Cirebon tepatnya ke Desa Atapada. Gegerlah seisi Keraton Demak, sumur yang biasa digunakan untuk upacara dan keperluan istana hilang tanpa diketahui sebab-sebabnya.

Astapada berasal dari kata Asta (mata, Bahasa Jawa) pada pandanagan yang jauh, maka sebagai insan yang baik harus mempunyai cita-cita yang tinggi, tapi sesuai dengan norma-norma kehidupan. Itulah yang ditanamkan oleh orang-orang yang arif dan bijaksana, guna untuk membangun kehidupan yang berarti di masa-masa mendatang, hingga saat ini Astapada diabadikan sebagai nama Desa.

Oleh Ki Gede Astapada sumur itu diletakan di wilayahnya, sumur itu masih ada hingga sekarang. Ada yang menarik dari sumur tersebut, sejak dulu sumur itu tidak dapat ditebak kapan akan terisi air. Musim hujan ketika sumur-sumur lainnya di Desa Astapada airnya berlimpah ruah, sumur itu tidak berair sama sekali. Namun adakalanya ketika Desa Astapada kekeringan sumur itu berair terkadan berlimpah. Masyarakat setempat meyakini jika sumur itu berair berarti akan ada pageblug atau musibah yang melanda Desa Astapada dan air sumur itu sebagai penangkalnya. Untuk menghormati jasa-jasa Ki Gede Astapada masyarakat Astapada mengadakan pertunjukkan wayang kulit di dekat lokasi sumur pada setiap Bulan Maulud. Namun nsejak akhir tahun 60-an diganti menjadi setiap bulan Agustus. Desa Astapada secara pemerintahan baru berdiri sendiri pada tahun 1984, semula menginduk pada Desa Gesik.

Kuwu-Kuw yang pernah memerintah Desa Astapada, yaitu
1.    Sutardjo (merangkap Kuwu Gesik)    : 1980 – 1990
2.    Saryami    : 1990 – 2000
3.    Akmad Kanani    : 2000 – sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH DESA ASTANA LANGGAR KABUPATEN CIREBON

ASAL USUL SEJARAH DESA ASTANA LANGGAR KABUPATEN CIREBON - Desa Astana Langgar termasuk wilayah Kecamatan Losari, kira-kira 5 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Losari kearah selatan.

Pada awalnya di pedukuhan yang bernama Pasuruan, saat itu para tokoh adat dan agama sedang menyusun sebuah rencana untuk mengadakan penyerangan terhadap Belanda. Mereka adalah Ki Upas Nenggala, Ki Darma Wijaya, Ki Cipta Nurasa dan Kiyai Cipta Langgeng. Hasil musyawarah itu diputuskan bahwa untuk melawan penjajah Belanda hendaknya kita bersatu dibawah kepemimpinan Pangeran Silih Asih. Tetapi yang dimaksud tidak ada ditempat, beliau sedang bertugas menyebarkan agama Islam di wilayah Pulau Lumpur.

Untuk menghubungi dan memberitahukan keadaan di tanah Pasuruan kepada Pangeran Silih Asih para tokoh yang hadir dalam pertemuan mempercayakan tugas ini kepada Ki Upas Nenggala. Sebagai seorang kesatria tangguh Ki Upas Nenggala tentunya sangat bangga mendapat tugas mulia ini yaitu menegakkan kebenaran dan mengusir penjajah dari muka bumi tanah Pasuruan. Secepat kilat Ki Upas Nenggala dengan kesaktiannya telah sampai di Pulau Lumpur, segera Ki Upas Nenggala bersujud ke Pangeran Silih Asih yang dianggapnya sebagai pimpinan tanah Pasuruan.
Setelah dijelaskan bahwa pihak penjajah Belanda sudah memasuki wilayah Pasuruan, dan para tokoh Pasuruan meminta Pangeran Silih Asih bersedia menjadi pemimpin dalam perlawanan melawan penjajah Belanda . Setelah Pangeran Silih Asih mendengar laporan keadaan tanah Pasuruan dalam bahaya, jiwanya bergetar dan bersedia memimpin pasukan tempur dan dibantu oleh pasukan yang ada di Pulau Lumpur untuk menghadang dan menghalau penjajahan.

Dilakukannya berbagai latihan perang dengan strategi yang telah disusun dan di diskusikan dengan para tokoh, Pangeran Silih Asih mengadakan serangan fajar hingga banyak yang jadi korban di pihak musuh. Dengan persenjataan yang sederhana, tetapi pasukan Pangeran Silih Asih telah digembleng jiwanya untuk tetap bertempur sampai titik darah penghabisan.

Berbekal sebuah semangat yang tinggi itulah mereka mampu melakukan perlawanan dengan sengit. Tetapi bagaimanapun juga peperangan selalu menimbulkan korban di kedua belah pihak. Adapun korban dari pihak pasukan Pangeran Silih Asih, atas kesepakatan Pangeran Silih Asih , Ki Upas nenggala dan pejuang lainnya di kumpulkan, selanjutnya dimakamkan di Astana Garib. Tidak jauh dari tempat itu Pangeran Silih Asih bersama penduduk membangun sebuah langgar, tempat beribadat dan sekaligus tempat menyalatkan jenazah para pejuang yang gugur di medan tempur.

Selang beberapa waktu Pangeran Silih Asih membuat pedukuhan bersama-sama dengan penduduk sekitarnya, dan oleh Pangeran Silih Asih daerah itu dinamai Desa Astana Langgar, berasal dari nama astana yang artinya kuburan, dan langgar tempat beribadat orang Islam dalam menjalankan sholat.  Sekarang nama Astana Langgar cukup dikenal karena di daerah itu ada sebuah sanggar tari topeng yang terkenal ke mancanegara. Ibu Sawitri diantara salah seorang penari topeng yang mampu mengangkat nama harum Indonesia dan sekarang gaya topeng Losari menjadi sebuah kekuatan dan memiliki karakter kuat yang dimiliki Kabupaten Cirebon.

Nama-nama kuwu yang diketahui adalah :
1.    Sumarjo    : 1963 – 1985
2.    Martaguna    : 1985 – 1994
3.    Nurjaman    : 1994 – 1995
4.    Moch. Ma’sum    : 1995 – 2001
5.    Abdul Gani (PJS)    : 2001 – 2002
6.    Gurotin Mas’ud    : 2002 - sekarang

Baca Selengkapnya »

SEJARAH DESA DAWUAN KABUPATEN CIREBON

SEJARAH ASAL USUL DESA DAWUAN KABUPATEN CIREBON - Desa Dawuan merupakan salah satu desa termasuk dalam Kecamatan Tengah Tani hasil pemekaran dari Kecamatan Cirebon Barat. Desa ini oleh masyarakat setempat diyakini didirikan oleh Ki Gede Dawuan. Sayang kiprahnya pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati tidak begitu terekam dalam ingatan masyarakat setempat, hanya diketahui keberadaan pasareannya atau kuburan di Nur Giri Cipta Rengga atau Astana Gunung Sembung yang berdampingan dengan Ki Gede Kemlaka dan Ki Gede Pilang yang juga penguasa desa tetangga dari Desa Dawuan. Hal tersebut bukan berarti mengecilkan peran para tokoh yang masih hidup di desa tersebut pada masa nan lampau.

Salah seorang yang begitu sanagat dikenang kiprahnya adalah Ki Buyut Muji. Seperti yang dituturkan oleh keluarga Kyai Haji Irsad Al Amin (Alm) pengasuh Pondok Pesantren Sambi Lawang Raden Syarif Rihani Kusumawijaya (Alm) menyebutkan bahwa nama Ki Buyut Muji sesungguhnya muncul karena setiap saat beliau hanya berwirid dan berzikir memuji Asma-Nya, beliau sesungguhnya bernama Pangeran Abdul Hamid putra dari Pangeran Satarengga. Jika jalur keturunan itu ditarik keatas maka sampailah pada Pangeran Cakrabuana atau embah Kuwu Cerbon, sedangkan menurut Ismail bin Raden Dasuki, Kibuyut Muji adalah putra dari Ki Gede Gesik, sedangkan Pangeran Satarengga adalah mertua beliau. Versi lain siapa Kibuyut Muji ini dituturkan oleh  Kyai Ahmad bahwa Ki Buyut Muji bernama asli Syekh Muhyidin. Nama Muji sendiri muncul sebagai nama samaran karena beliau melakukan gerakan bahwa tanah memberontak terhadap belanda . disebutkan pula bahwa ia adalah pendukung setia dari Pangeran Suryanegara (Mertuanya).

Selain dikenal sebagai ulama dan pejuang beliau juga dikenal sebagai ahli pengairan (water resorch).

Dikisahkan dalam tradisi lisan setempat pada saat belanda membangun  dam / bendungan (Dawuan, Cirebon) di daerah Situ Patok. Namun entah karena apa pekerjaan itu tiada kunjung rampung, berkali-kali dam itu rampung, namun tiba-tiba dam tersebut bobol. Bahkan yang lebih mengerikan seringkali menelan korban jiwa dari para pekerjanya. Hal itu membuat belanda magsyul.

Merekapun lantas mengkonsultasikan kejadian itu kepada Sultan Cerbon. Sang Sultan memberikan kesepakatan untuk membantu pembangunan proyek dam / bendungan tersebut. Hal dimaksudkan agar tidak ada korban jiwa dari para pekerja proyek yang juga jelas-jelas rakyatnya sendiri. Belandapun tidak dapat menolak kesepakatan tersebut, memang hal itu yang mereka harapkan. Harapan agar pundi-pundi kekayaan kerajaan belanda  semakin menggunung.

Selepas itu Sang Sultan memanggil Ki Buyut Muji. Titah beliau kepada Ki Buyut, “ Ki Buyut Muji Aku perintahkan agar engkau menyelidiki penyebab macetnya pembangunan dam/bendungan   di Situ Patok agar tidak semakin banyak nyawa rakyat yang melayang.

“Sendika Gusti hamba akan secepatnya menuntaskan masalah tersebut dan segera memberi laporan. “ jawab Ki Buyut sembari menghatur sembah. Setelah itu lekaslah ia berangkat menuju Situ Patok.

Setibanya disana, dengan teliti dari sudut ke sudut dipandanginya tiap jengkal dam yang belum rampung tersebut. Tentu saja mata yang ia pakai kali ini bukanlah mata lahir melainkan mata batin, sebab sebagai ahli pengairan dari kejauhan saja sebelum sampai di tepi dam, telah tampak jika struktur rancangan bangunan dam itu sudah cukup baik. Di tengah dam yang airnya belum penuh itu terdapat sebuah pulau. Dalam pandangan batinnya terlihat dengan sangat nyata tampak seekor ular naga yang amat besar.

Berjalanlah Ki Buyut Muji  kearah pulau di tengah-tengah dam / bendungan. Sesampainya disana naga sudah menanti dengan mulut menganga hingga taringnya tampak berkilauan oleh sorot mentari.

“Hai manusia, siapa kamu berani-beraninya engkau datang kemari. Apa kau tak tahu betapa banyak bangsamu yang kusantap “ seru ular naga itu.

“Tak kusangka, engkau ular yang sangat pintar, dapat berbicara dalam bahasa manusia.” Kata Ki Buyut Muji. Ketahuilah, lanjutnya, “aku adalah Ki Buyut Muji utusan dari Kanjeng Sultan Cerbon untuk menyelidiki kejanggalan yang ada dalampembuatan dam / bendungan disini. Nyatanya tanpa kutanya kau sudah menjawab sendiri jika kaulah biang onar itu. Sesungguhnya siapa kamu dan apa yang menjadi alasanmu menggangu pekerjaan ini?” tanya Ki Buyut Muji pada sang ular.

“Namaku Sang Nagaraja penguasa tempat ini, Pulau Antaboga.”. Bangsa bule itu tidak tahu ada, seenaknya mengganggu tempat tinggal sesama mahluk Yang Widi.” Katanya sembari terus mendesis. Ki Buyut Muji sekarang paham. “Tapi bukan berarti kau boleh memangsa manusia lainnya yang tidak tahu menahu duduk permasalahannya, mereka hanya kuli, tidak lebih, jelas Ki Buyut Muji.  Jadi lekaslah engkau hentikan perbuatanmu.”

“Kalau Aku teruskan?” tanya sang Nagaraja dengan matanya merah.
“Kau harus bersiap melawanku,” pelan Ki Buyut menjawab.

Tanpa berkata-kata lagi Sang Nagaraja mematuk kea rah kepala Ki Buyut Nuji, sebuah tanda awal pertarungan. Pertarungan itu begitu sengit keduanya pilih tanding, namun kebenaran akan selalu menang. Begitulah yang kemudian terjadi, akhirnya Ki Buyut Muji dapat menundukannya.

“Aku mengaku takluk, “kata Sang Nagaraja kelelahan nampak dalam desahan nafasnya, “Aku tidak akan berani mengganggu pekerjaan ini sedikitpun. Namun akupun mempunyai satu permintaan, setiap tahun ditanggap wayang kulit dan sebagai dalang adalah engkau dan begitu terus-menerus kepada anak keturunanmu.”

“Akan ku laksanakan, bagiku dan Kesultanan Cerbon nyawa serta keselamatan rakyat adalahutama.” Kata Ki Buyut.

Maka Ki Buyut memagang Sang Nagaraja, agar sudi ikut ke Keraton Cerbon, sebagai saksi juga barang bukti atas keberhasilan tugas yang ia embank. Dengan kesaktiannya Nagaraja yang begitu besar dan panjang, dalam genggamannya tiba-tiba saja menyusut hingga sebesar cacing tanah. Oleh Ki Buyut Muji Nagaraja di taruh ke dalam wadah tembakau kesayangannya.

Tak berapa lama Ki Buyut Muji  hadir di Bangsal Prabayaksa Keraton Cerbon di hadapan Sang Sultan Cerbon.

“Kibuyut,” kata Sang Sultan lembut perlahan, “ lekas engkau ceritakan apa yang terjadi dan bagaimana pemecahan masalahnya.

Gusti sesembahan hamba,” katanya perlahan sambil kedua tangannya menjura dengan dahi condong ke bawah, “ Akhirnya hamba mengetahui sebab musababnya, hal itu terjadi karena ada sebangsa ular siluman bernama Nagaraja penguasa Pulau Antaboga, pulau di tengah dam itu. Ia tidak menerima karena tanpa seizinnya sebagai penguasa gaib di sana, Belanda berani membuat dam. Hamba membujuknya agar mau menghentikan segala tindakannya, namun ia melawan. Alhamdulilah atas seizin-Nya ia sanggup hamba taklukan Gusti, bahkan ia hamba bawa serta kemari.”

“Jika begitu aku ingin melihatnya,” kata Sang Sultan dengan penuh minat. Ki Buyutpun menyodorkan wadah tembakau dan dibukanya perlahan-lahan.

Sang Sultan melihat ada seekor ular yang tak jauh beda dengan cacing. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia berkata, “Sungguh heran, ular sebesar ini sanggup menghentikan pekerjaan Belanda yang dilakukan oleh beratus-ratus orang.”

Mendengar hal tersebut Ki Buyut Muji tersenyum simpul, “Gusti ukuran sesungguhnya tidak sekecil ini, silahkan paduka lihat sejenak.” Ia pun menurunkan Nagaraja ke lantai Keraton, dengan sekejap mata Nagaraja kembali keukuran semula konon saking besarnya kepala Nagaraja memenuhi Prabayaksa dan Sri Manganti. Sedangkan ujung ekornya ada di alun-alun Sangkala Buana (alun-alun Keraton Kasepuhan).

Sang Sultan terperanjat, “ Kibuyut lekas kau masukan lagi ketempatnya tadi.” Katanya gusar tanpa bisa menyembunyikan rasa keheranannya. Ki Buyut pun lekas meraih kepala Nagaraja, maka ia pun kembali mengecil, lekas dimasukan  kembali kedalam wadah tembakau.

“Lantas dengan takluknya dia olehmu, itu akan serta merta menghentikan aksi pembunuhan?” tanya Sang Sultan , dengan nada suara yang sudah tenag kembali.

“Pendek kata begitu yang Mulia,” katanya lantas ia melanjutkan, namun itu pun dengan persyaratan setiap tahun di dam itu dipertunjukan wayang kulit dan aku yang menjadi dalangnya, begitu seterusnya hingga anak cucu keturunanku kelak.”

Maka Sang Sultan pun meluluskan permintaan Naga Raja penguasa Pula Antaboga demi ketentraman dan keselamatan rakyat Cerbon. Atas jasanya dalam menghentikan perbuatan Nagaraja, Ki Buyut Muji diberi julukan Ki Buyut Dawuan dan mendapat tanah perdikan (tanah merdeka, tanah yang tidak wajib kena pajak dan upeti kepada Kesultanan, jika pun memberi upeti itu atas dasar kerelaan dibolehkan tidak ada keharusan yang terdiri dari :
1.    Rancang, Luasnya adalah sepanjang sisi selatan jalan raya Cirebon Bandung dari Desa Dawuan hingga Desa Kedung Jaya. Namun sekarang hanya satu blok, nama ini tersemat pada salah satu blok di Desa Dawuan.
2.    Rancang Kawat, Sekarang termasuk ke dalam Desa kemalaka, dan menjadi nama salah satu desa tersebut.
3.    Sina Rancang, Letaknya di sisi Situ Patok sekarang, dan menjadi nama Desa Sina Rancang.

Ki Buyut Muji wafat dan dimakamkan di blok Rancang, sedangkan peninggalannya berupa arit gagangnya berhias kepala Cemental Sekar Pandan atau Curis salah satu dari sembilan tokoh Punakawan dalam Pewayangan Cirebon, dan kain sarungnya masih tersimpan dengan baik oleh anak keturunannya. Pertunjukan wayang kulit di Desa Situ Patok sebagai syarat atau permintaan Sang Nagaraja diketahui terakhir pada tahun 1990- an dengan dalang dari blok Rancang yaitu alm. Ki Dalang Gluwer.

Pemerintah Desa Dawuan sendiri sudah berlangsung sejak lama.

Nama-nama Kuwu Desa Dawuan yang diketahui adalah :
1.    Salamun            : 1970-1985
2.    Aan Anasi        : 1985-1993
3.    Nasikin Abdulah        : 1994-2003
4.    Maana pjs        : 2003-hingga sekarang

Baca Selengkapnya »

BURSA LOWONGAN KERJA KAB. CIREBON 10,11,12 SEPTEMBER 2013 TIKET GRATIS

INFO BURSA LOWONGAN KERJA BARU DI BLK PLUMBON KAB. CIREBON 10,11,12 SEPTEMBER 2013 TIKET GRATIS - Untuk sekilas info kali ini kami akan menginfokan yang datangnya dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Cirebon khususnya mengenai bagi rekan-rekan sekalian yang ingin atau sedang membutuhkan pekerjaan silahkan datang dan lamar pekerjaan dalam Bursa lowongan Kerja yang di selenggarakan  selama 3 hari yaitu pada Hari Selasa,Rabu dan Kamis Tanggal 10,11,12 September 2013 yang bertempat, ingat baik-baik alamatnya di  :

UPT Pelatihan Kerja / BLK

Jl. Pangeran Antasari Desa Lurah Plumbon

Kabupaten Cirebon

Tiket Biaya Masuk :: GRATIS

Waktu Pelaksanaan :: Jam 8 Pagi s/d Jam 4 Sore

PERSYARATAN :

- Membawa Surat Lamaran Kerja

- Foto Copy KTP

- Kartu Kuning



Perusahaan yang mengikuti Bursa Lowongan Kerja ini Diantaranya :

Perusahaan Keuangan ::

Kresna Raksa Finance
PT. Bank Sinae Mas
Bank BJB
PT. Bank Saudara
BAF
PT. Permodalan Nasional Madani
Mandala Multi Finace
Bank BJB Syariah
PT. BNI

Perusahaan Manufaktur ::

PT. Nesinak Industries
LEETEX
PT. Indocement Tunggal Perkasa
PT Indoowoyang
PT. Propon Raya icc
Karya Cibya
PT. Smart Techtex
PT. Indosat
Koprasi Gudang Garam
U.D Swiss
PT. Puspita Group

Perusahaan Jasa ::

PT. Sukses Bersama Yatfuari
PT. Suka Mulia Mandiri Agung
Hanindo
PT. Sukses Mandiri Utama
PT. Tiara Mas Rona Gemilang
PT. Sudinar Artha
Telkom PDC Cirebon

Perusahaan Retail ::

Alfamart
PT. Tiga Sinansa Mandiri
CV. Intan Mulia
PT. Daya Anugrah Mandiri
PT. Mustika
Aston Hotel
PT. Indo Marco

Baca Selengkapnya »

OBYEK WISATA DAN KULINER UNGGULAN KAB.CIREBON

Berikut ini adalah beberapa Obyek Wisata dan Kuliner Unggulan Kabupaten Cirebon diantaranya yaitu ::

Batik Trusmi

Di Desa Trusmi dan Panembahan, dapat dijumpai banyak home industry yang menjual batik khas Cirebon. Sentra batik ini akan lebih ramai pada akhir pekan oleh pembeli yang datang dari luar kota dan luar negeri. Motif batik yang terkenal dari kawasan ini adalah motif Mega Mendung.

Pasar Kue Setu

Pasar Kue Setu terletak di Kecamatan Plered. Kue-kue yang penjualannya tersebar hingga ke hampir seluruh Indonesia dan kebanyakan berupa camilan ini diproduksi oleh industri rumahan di Desa Setu dan sekitarnya.

Cemilan khas Cirebon yang sangat cocok dijadikan oleh-oleh ini mayoritas bernama unik, di antaranya kerupuk kulit kerbau/rambak, kerupuk melarat, kerupuk geol, kerupuk upil, kerupuk gendar, kerupuk jengkol, jagung marning, rengginang mini, emping, kelitik, kue atom, maypilow, kembang andul, ladu, simpil, gapit, otokowok, opak, welus, sagon, dan masih banyak lagi.
Di sekitar Plered ini banyak pula ditemui penjual sandal karet, yang penjualannya sudah menyebar ke seluruh nusantara.

Wisata Ziarah

    Makam Sunan Gunung Jati
    Situs Batu Tulis huludayeuh
    Petilasan Cimandung
    Situs Pasanggrahan Balong Biru
    Balong Keramat Tuk
    Makam keramat Megu
    Situs Lawang Gede
    Makam Nyi Mas Gandasari
    Makam Syekh Magelung Sakti
    Makam Talun
    Makam Buyut Trusmi
    Makam P. Jakatawa dan Syeh Bentong

Wana Wisata

Lapangan GOLF Ciperna

Kawasan ini berada di tepi jalan raya Cirebon-Kuningan dengan kontur tanah berbukit berjarak 5 km ke selatan dari kota Cirebon, berada pada ketinggian 200 m di atas permukaan laut.
Daya tarik utama kawasan ini adalah keindahan pemandangan kota Cirebon dengan latar belakang laut lepas ke arah utara, sedangkan ke arah selatan Gunung Ciremai di suasana yang menarik. Berdasarkan Perda nomor 25 tahun 1996, kawasan wisata Ciperna ditetapkan seluas 300 Ha yang diperuntukkan bagi 5 (lima) ruang kawasan pengembangan antara lain:

Kawasan wisata Agro Griya. Pembangunan Agro Griya dalam bentuk rumah kebun yang dapat disewakan dengan fasilitas Hotel Bintang.

Kawasan wisata Agro Tirta. Pembangunan Agro Tirta dalam bentuk pembuatan danau buatan yang dilengkapi rekreasi air.

Kawasan Agro Wisata I

Kawasan Agro Wisata II.

Agro wisata I dan II diarahkan dalam bentuk pembangunan kawasan perkebunan mangga gedong gincu, srikaya, atau tanaman jenis lainya. Di samping itu membangun track olahraga yang dapat menyesuaikan dengan kontur tanah sekitarnya.

Kawasan Land Mark.

Kura-Kura Belawa

Lokasi wisata ini berjarak kira-kira 25 km dari Kota Sumber ke arah timur. Objek wisata ini memiliki daya tarik dari kura-kura yang mempunyai ciri khusus di punggung dengan nama latin ‘’Aquatic Tortose Ortilia norneensis’’.

Menyimpan legenda menarik tentang keberadaannya di Desa Belawa Kecamatan Kecamatan Sedong. Menurut penelitian merupakan spesies kura-kura yang langka dan patut dilindungi keberadaannya. Objek wisata ini direncanakan untuk dikembangkan menjadi kawasan yang lebih lengkap, yaitu taman kura-kura (turle park) atau taman reptilia.

Situ Sedong

Terletak di Kecamatan Sedong sekitar 26 km dari arah pusat Kota Sumber, dengan luas lahan 62,5 Ha. Selain mempunyai panorama yang indah, situ ini juga disebut pula situ pengasingan yang merupakan tempat rekreasi air dan pemancingan.

Banyu Panas Palimanan

Objek wisata ini terletak di Kecamatan Palimanan sekitar 16 km dari Cirebon ke arah Bandung, merupakan pemandian air panas dengan kadar belerang yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit. Pemandian air panas ini ada di sekitar bukit Gunung Kapur, Gunung Kromong, yang mempunyai keistimewaan mata air selalu berpindah pindah.

Plangon

Objek wisata plangon berlokasi di Desa Babkan Kecamatan Sumber ± 10 km dari kota Cirebon. Tempat rekreasi dengan panorama alam indah yang dihuni oleh sekelompok kera liar. Selain selain tempat rekreasi, terdapat juga makam Pangeran Kejaksan dan Pangeran Panjunan.
Puncak acaranya biasa di masa ziarah Plangon tanggal 2 syawal, 11 Dzulhijjah, dan 27 Rajab. Untuk pengembangan wisata ini meliputi lahan sekitar 10 Ha, dan status tanah ini milik Kesultanan. Kapasitas pengunjung rata-rata sekitar 58.000 pengunjung/tahun.

Situ Patok

Luas Situ Patok 175 Ha yang terletak di Desa Setu Patok sekitar 6 km dari Kota Cirebon ke arah Tegal, objek wisata ini selain mempunyai panorama indah juga tersedia sarana rekreasi air dan pemancingan.Lokasi ini berpotensi untuk dikembangkan sekitar lahan 7 Ha, dengan status tanah negara. prasarana yang diperlukan adalah pembuatan dermaga, pengadaan perahu motor, sarana pemancingan, serta pembangunan rumah makan yang artistik. Jalan ke arah lokasi cukup baik dan lebar, jaringan aliran listrik sudah tersedia dan saat ini minat masyarakat untuk mengunjungi wisata ini cukup banyak.

Cikalahang

Kawasan Cikalahang merupakan kawasan yang baru berkembang dengan daya dukung alam. Sasaran wisatawan pada awalnya adalah objek wisata Telaga Remis yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Kuningan dan berada di wilayah Kuningan. Hingga saat ini kawasan Telaga Remis masih menarik wisatawan yang dapat diandalkan dari segi pendapatan. Jalan menuju objek wisata ini adalah melalui Desa Cikalahang yang berada di wilayah Kabupaten Cirebon, sehingga keberadaannya memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar usaha lain sebagai daya pendukung. Di samping itu juga kawasan Cikalahang telah berkembang menjadi suatu kawasan yang mempunyai daya tarik sendiri yaitu dari usaha restoran/rumah makan ikan bakar. Dengan banyaknya peminat, wilayah itu berkembang pesat menjadi daya tarik wisata makan, sehingga pada hari-hari libur penuh dikunjungi wisatawan.Menjual keadaan alam yang menarik dengan sumber air dari kaki Gunung Ciremai yang tidak pernah kering, sangat memungkinkan untuk membuka peluang usaha kolam renang yang bersifat alami dengan fasilitas modern serta bumi perkemahan. Kawasan wisata Cikalahang terletak sekitar 6 km dari Kota Sumber dan 1 km dari jalan alternatif Cirebon-Majalengka dengan lingkungan alam yang masih asri.

Wanawisata Ciwaringin

Hutan wisata dengan menampilkan keindahan alam dan banyak ditumbuhi oleh pohon kayu putih. Menyediakan lokasi bagi para penggemar jalan kaki dan arena motor cross. Di lokasi ini juga terdapat Danau Ciranca bagi penggemar memancing. Berlokasi di Desa Ciwaringin Kecamatan Ciwaringin, 17 km dari Kota Sumber.

Galeri Kuliner Kabupaten Cirebon

Tahu Gejrot, tahu goreng dengan taburan gula merah
Usus sapi rebus, "Sup Empal Gentong"
Sega Jamblang ("Nasi Jamblang"), hidangan-hidangan untuk menemani nasi yang disajikan di  daun jati
Sega Lengko ("Nasi Lengko"), nasi vegetarian dengan tahu dan tauge
Tempe mendoan, tempe dilapisi adonan yang digoreng
Intip (makanan ringan manis dari beras)
Kerupuk Mlarat (harfiah "kerupuk miskin"). Keripik yang terbuat dari tepung tapioka dan digoreng dengan pasir panas (bukan minyak).
Emping berukuran besar (kerupuk dari melinjo)
Tjampolay minuman legendaris asal Cirebon, Pertama kali dibuat oleh Tan Tjek Tjiu pada 11 Juli 1936


Baca Selengkapnya »

SEJARAH ASAL USUL CIREBON

SEJARAH LENGKAP ASAL USUL KABUPATEN CIREBON - Kabupaten Cirebon, merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan batas, sekaligus sebagai pintu gerbang Provinsi Jawa Tengah. Dalam sektor pertanian, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah produsen beras yang terletak di jalur pantura.

Letak Kondisi Geografi Cirebon

Kabupaten Cirebon berada di daerah pesisir Laut Jawa. Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon berada pada posisi 6°30’–7°00’ Lintang Selatan dan 108°40’-108°48’ Bujur Timur. Bagian utara merupakan dataran rendah, sedang bagian barat daya berupa pegunungan, yakni Lereng Gunung Ciremai. Letak daratannya memanjang dari barat laut ke tenggara. wilayah Kabupaten Cirebon dibatasi oleh:

    Utara Kabupaten Indramayu
    Barat laut Kabupaten Majalengka,
    Selatan Kabupaten Kuningan,
    Timur Kota Cirebon dan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)

Pembagian administratif

Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan, yang dibagi lagi atas 412 desa dan 12 kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon di Kecamatan Sumber, yang berada di sebelah selatan Kota Cirebon. Tiga kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2007 adalah Kecamatan Jamblang (Pemekaran Kecamatan Klangenan sebelah timur), Kecamatan Suranenggala (Pemekaran Kecamatan Kapetakan sebelah selatan), dan Kecamatan Greged (Pemekaran Kecamatan Beber sebelah timur).

Sejarah Lengkap Berdirinya Cirebon

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Perkembangan awal

Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)

Pangeran Cakrabuana (…. –1479)

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon.

Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten

Fatahillah (1568-1570)

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Panembahan Ratu I (1570-1649)

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

Panembahan Ratu II (1649-1677)

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

Terpecahnya Kesultanan Cirebon

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.

Perpecahan I (1677)

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

Perpecahan II (1807)

Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

Masa kolonial dan kemerdekaan

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

Perkembangan terakhir

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.


Budaya Cirebon

Tari Topeng Cirebon

Kebudayaan yang melekat pada masyarakat Cirebon merupakan perpaduan berbagai budaya yang datang dan membentuk ciri khas tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pertunjukan khas masyarakat Cirebon antara lain Tarling, Tari Topeng Cirebon, Sintren, Kesenian Gembyung, dan Sandiwara Cirebonan.

Kota ini juga memiliki beberapa kerajinan tangan di antaranya Topeng Cirebon, Lukisan Kaca, Bunga Rotan, dan Batik.Salah satu ciri khas batik asal Cirebon yang tidak ditemui di tempat lain adalah motif Mega Mendung, yaitu motif berbentuk seperti awan bergumpal-gumpal yang biasanya membentuk bingkai pada gambar utama.

Motif Mega Mendung adalah ciptaan Pangeran Cakrabuana (1452-1479), yang hingga kini masih kerap digunakan. Motif tersebut didapat dari pengaruh keraton-keraton di Cirebon. Karena pada awalnya, seni batik Cirebon hanya dikenal di kalangan keraton. Sekarang di Cirebon, batik motif mega mendung telah banyak digunakan berbagai kalangan. Selain itu terdapat juga motif-motif batik yang disesuaikan dengan ciri khas penduduk pesisir

Baca Selengkapnya »